Adaptif dan Militan: Nilai yang Ditawarkan Ernest Hemingway dalam Karya Monumentalnya

Oleh Pitrus Puspito

Pada 1951 Ernest Hemingway menerbitkan novel tipis berjudul The Old Man and The Sea. Novel tersebut mengisahkan perjuangan nelayan tua yang tindak memperoleh seekor ikan pun selama 84 hari. Setelah berlayar jauh, akhirnya kail lelaki tua itu disambar seekor ikan marlin yang sangat besar, lebih besar daripada sampan si nelayan tua. Dengan susah payah nelayan tua menaklukan tangkapan itu. Sampan terseret, terombang-ambing karena tenaga ikan marlin yang kuat. Sementara nelayan tua dengan tenaga yang tersisa ditambah rasa lapar berhasil menaklukan ikan marlin tersebut.

Nelayan tua itu mengikat hasil tangkapannya pada samping sampan. Namun, sebelum ia berhasil mencapai pantai, ikan-ikan hiu menyantap habis daging ikan marlin itu. Nelayan tua berusaha mengusir ikan-ikan hiu yang menyerang dengan tombak dan dayungnya. Hingga akhirnya nelayan sampai ke pantai, tetapi ikan marlin raksasa itu hanya menyisakan kerangka saja. Para nelayan lain yang sering mengejek si nelayan tua, melihat kerangka ikan marlin raksasa itu. Dalam hati mereka, memuji ketangguhan dan kegigihan si nelayan tua.

Telah banyak orang yang menafsirkan cerita The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway itu, sebab novel tipis itu mengantarkan Hemingway mendapat Penghargaan Pulitzer. Ada yang menafsirkan bahwa ikan-ikan hiu adalah para kritikus yang tidak menyukai novel-novel Hemingway sebelumnya. Ikan marlin adalah karya besar yang tidak disukai pada awalnya, tetapi nyatanya novel inilah karya Hemingway yang paling banyak didiskusikan orang.

Novel The Old Man and The Sea juga dapat dipahami sebagai seseorang yang menghadapi perkembangan zaman yang pesat. Nelayan tua adalah simbol dari manusia yang mengalami perkembangan zaman, khususnya globalisasi yang arusnya seperti gelombang laut. Arus globalisasi dapat mengombang-ambingkan seseorang bahkan menghanyutkanya.

Nelayan tua adalah sosok yang gigih, tangguh dan menghadapi tantangan dengan kesadaran penuh. Ia beradaptasi dengan kenyataan, bahwa ia telah berlayar ke tengah laut yang jauh dari gubuknya. Ikan marlin adalah kesuksesan yang harus diraihnya. Kesuksesan sejati layaknya ikan marlin, tidak mudah untuk ditaklukan. Kesuksesan sejati butuh kerja keras dan kegigihan. Kesuksesan sejati seperti ikan marlin raksasa, meskipun hanya menyisakan kerangka namun tetap memiliki nilai.

Bagaiaman dengan kita yang menghadapi gelombang teknologi informasi (4.0) dan ketidakpastian yang terjadi di negeri ini akhir-akhir ini? Semoga ada satu nilai yang menjadi penyemangat bagi kita untuk bertahan (beradaptasi dengan keadaan saat ini). Sama seperti nelayan tua di laut yang luas, kita kadang-kadang merasa kecil dan rapuh. Barangkali tahun ini gelombang laut sedang pasang, sehingga orang-orang yang tangguh dan adaptiflah yang mampu survive.

Kemampuan beradaptasi berarti mampu menyesuaikan diri terhadap segala keadaan. Kemampuan beradaptasi juga membantu seseorang dalam mengatasi masalah dengan lebih sadar dan tenang. Seperti nelayan tua, secara sadar berani menghadapi ikan marlin yang memberontak dan para hiu buas yang menyerang sampannya. Dalam bidang akademik kemampuan beradaptasi berdampak pada kemampuan anak dalam menghadapi tantangan serta bebas dari tekanan belajar. Sehingga pada akhirnya meningkatkan dirinya menjadi lebih tangguh dan dewasa. 

Ketangguhan dan kemampuan beradaptasi adalah karakter yang sangat dibutuhkan pada generasi saat ini. Mereka yang tangguh dan adaptif akan menjadi pribadi yang lues atau fleksibel ketika dihadapkan pada situasi yang tidak pasti. Bahkan situasi yang tidak menyenangkan. Mereka akan memiliki kesadaran untuk menghadapi tekanan dari dalam maupun dari luar dirinya. Misalnya menghadapi kehilangan, kesulitan hidup bahkan kesengsaraan. 



Biodata: Pitrus Puspito adalah guru dan penulis. Karya-karyanya berupa puisi, cerpen dan esai.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak