… disarikan dari berbagai sumber untuk Semaan Puisi Episode 79,
Kamis, 22 Mei 2025, di Adakopi Original
Oleh Angin Kamajaya
Kamis, 22 Mei 2025, di Adakopi Original
Oleh Angin Kamajaya
HANS BAGUE JASSIN atau lebih terkenal dengan nama H.B. JASSIN, adalah Penulis, Penerjemah, Kritikus Sastra, dan sastrawan Indonesia. Ia lahir di Gorontalo pada 31 Juli 1917. Jassin dikenal juga dengan julukan Paus Sastra Indonesia atas dasar kinerja dan jasanya untuk sastra indonesia. Sebelumnya, Jassin juga dikenal sebagai sastrawan yang pernah tersandung polemik dan kontroversi penistaan agama yang berujung membuatnya menjadi tahanan. Salah satu jasa terbesar Jassin untuk kesusastraan Indonesia adalah berdirinya Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin.
Jassin dilahirkan dari pasangan Bague Mantu Jassin dan Habiba Jau. Ayah Jassin, Bague adalah seorang pegawai Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), sementara ibunya, Habiba berasal dari keluarga yang religius. Kombinasi ini membuat masa kecil Jassin diwarnai nilai-nilai islam dan disiplin akademik yang ketat didikan pada masa Hindia Belanda. Fondasi masa kecil ini yang kemudian menjadi dasar kepribadian dan perkembangan intelektualnya.
![]() | |
(H.B Jassin – Sumber Kompasiana.com) |
Awal Perjalanan Intelektual
Jassin menamatkan pendidikan dasarnya di Gouverments HIS Gorontalo pada 1932, sebelum melanjutkan ke HBS-B di Medan. Tahun-tahun ini menjadi fondasi bagi minatnya pada sastra dan bahasa. Sekolah ini merupakan sekolah pelajaran bahasa Belanda. Sehingga Jassin bisa banyak mengakses banyak bacaan. Ketika di Medan, Jassin sudah mulai banyak menulis. Dan, di sana pula ia bertemu dengan calon seorang sastrwaan besar Chairil Anwar.
Setelah lulus pada akhir 1938, ia kembali ke Gorontalo dan mulai terlibat dalam dunia kepenulisan dan penerbitan. Nama Jassin, dalam dunia penulisan dan penerbitan sudah sampai ke telinga Sutan Takdir Alisjahbana di Balai Pustaka saat di masih di Medan. Sehingga, ketika Jassin pulang dari Medan dan mampir di Jakarta untuk ke bertemu dan berbincang dengan STA, STA sangat kagum dan tertarik pada Jassin. Setelahnya, STA mengirimkan surat undangan dan informasi lowongan di Balai Pustaka kepada Jassin, untuk bergabung dengan Balai Pustaka.
Panggilan jiwanya yang mencintai sastra mengubah arah hidupnya. Terlebih saat menerima surat dari STA, ia ingin sekali bekerja pada bidang yang ia minati itu. Namun, orang tuanya ingin Jassin berada di Gorontalo. Akhirnya, pada Agustus–Desember 1939, sebagai bentuk penghormatan kepada orang tuanga, Jassin bekerja sukarela di Kantor Asisten Residen Gorontalo, pengalaman yang memperkenalkannya pada dinamika administrasi kolonial.
Pada Januari 1940, setelah mendapatkan izin dari orang tuanya, Jassin akhirnya hijrah ke Jakarta dan bergabung dengan Balai Pustaka, lembaga penerbitan penting yang menjadi pusat perkembangan sastra Indonesia modern pada masa itu. Ada peristiwa unik di balik hijrah Jassin ke Jakarta, surat panggilan lowongan kerja dari Balai Pustaka yang dikirim Sutan Takdir Alisjahbana, ternyata ikut berlayar ke Gorontalo bersamaan dengan Jassin yang pulang dari Medan menuju kampung halaman.
Menjadi Suara Sastra dari Era Kolonial hingga Kemerdekaan
Di Balai Pustaka, Jassin tidak hanya menjadi redaktur majalah Panji Pustaka (1942–1945) dan wakil pemimpin redaksi Panca Raya (1945–1947), tetapi juga aktif menulis cerpen dan puisi. Karyanya dimuat di berbagai media seperti Volksalmanak, Poedjangga Baroe, dan Djawa Baroe selama masa pendudukan Jepang. Pasca-kemerdekaan, ia terus berkontribusi melalui koran Merdeka dan majalah Pantja Raja. Namun, pada pertengahan 1940-an, ia mulai meninggalkan penulisan fiksi untuk fokus pada kritik sastra, sebuah bidang yang akan membentuk legasinya.
Kritik Sastra sebagai Senjata Intelektual
Jassin dikenal sebagai kritikus yang tajam namun penuh apresiasi. Tulisan-tulisannya menjadi rujukan mutlak bagi pelajar, penulis, dan akademisi. Pada 1956, ia mempertahankan nama baik Chairil Anwar dalam polemik plagiarisme melalui buku Chairil Anwar: Penyair Angkatan 45. Karya ini tidak hanya membela seorang penyair, tetapi juga menegaskan pentingnya kebebasan kreatif.
Pengaruhnya mencapai puncaknya pada 1965, ketika ia dijuluki Paus Sastra Indonesia oleh Gayus Siagian—sebuah julukan yang mencerminkan dominasi intelektualnya di dunia sastra. Meskipun, sebenarnya, saat itu Gayus tidak berniat memuji, namun julukan itu bernada kesal. Karena pada saat itu, hampir sebagian besar karya sastra yang sampai ke tangan Jassin, artinya sedang berada di dua persimpangan nasib karya kedepannya, dan semua orang menunggu, seperti warga Vatikan menuggu fatwa Paus.
Polemik dan Ujian Ideologis
- Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung (1968)
Kasus ini menjadi bagian dari Heboh Sastra 1968, sebuah periode di mana dunia sastra Indonesia diguncang perdebatan antara kebebasan kreatif dan kontrol ideologis. Bagi Jassin, ini adalah ujian prinsip: ia mempertahankan hak penulis untuk bereksperimen tanpa tekanan eksternal, meski harus menghadapi konsekuensi hukum.
2. Puitisasi Al-Quran dan Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia (1978)
Pada 1978, Jassin menerbitkan terjemahan Al-Quran berjudul Al-Qur’anul Karim: Bacaan Mulia. Terjemahan ini menuai kritik keras karena pendekatannya yang puitis, yang dianggap menyimpang dari tafsir tradisional. Beberapa kelompok keagamaan menuduhnya merendahkan kesakralan teks suci dengan gaya bahasa yang lebih literer. Kontroversi ini mencerminkan keberaniannya menggabungkan iman dan seni, meski risiko kecaman sosial dan keagamaan tinggi.
Kontroversi terjemahan tidak bergenti begitu saja, banyak orang kemudian membuat kajian untuk mrngoreksi dan menyalahkan hasil terjemahan Jassin. Hingga pada akhirnya, ada satu peristiwa yang ditunggu, yaitu seminar terbuka membongkar dan membandingkan hasil terjemahan ini, namun, tidak terjadi dan lenyap begitu saja.
Setelahnya, Jassin, sempat berulah kembali dengan menerbitkan Al-Qur’an berwajah puisi. Kali ini bukan terjemahannya, namun bentuk tipografinya diubah dari yang konvensional standar Depag dan juga bagian dari penyempurnaan Bacaan yang Mulia. Ini terjadi pada tahun 1993.
Akademisi dan Pelestari Warisan Budaya
Selain sebagai kritikus, Jassin adalah akademisi yang berdedikasi. Sejak 1953, setelah Jassin menamatkan studinya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ia mulai mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI), sambil melanjutkan studi di Universitas Yale (1958–1959) untuk mempelajari ilmu perbandingan sastra. Di sana, ia terlibat dalam kongres Comparative Literature Association yang memperluas wawasannya tentang sastra dunia.
Sayangnya, karier ini terputus saat Jassin terlibat dalam peristiwa manifesto kebudayaan. Karier dosennya diselesaikan oleh universitas, dan beasiswanya juga dicabut. Namun, semua itu, tak membuat Jassin menghentikan dedikasinya untuk dunia sastra.
Kontribusi terbesarnya dalam pelestarian budaya adalah pendirian Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin pada 1976. Gedung ini, berlokasi di Taman Ismail Marzuki, menjadi repositori terbesar koleksi sastra Indonesia di resmikan oleh Gubernur DKI Ali Sadikin. Pada 2022, gedung baru yang lebih megah diresmikan oleh Gubernur DKI Anies Baswedan, seolah menegaskan komitmen negara dalam melestarikan warisan budaya.
Penghargaan dan Warisan
Sepanjang hidupnya, Jassin menerima banyak penghargaan:
- Satyalancana Kebudayaan(1969),
- Hadiah Martinus Nijhoff dari Belanda (1973),
- Gelar Doktor Honoris Causa dari UI (1975),
- Hadiah Magsaysay dari Filipina (1987),
- Bintang Mahaputera Nararya (1994).
Ia juga dianugerahi gelar adat Gorontalo, Ti Molotinepa Wulito (Putra Terbaik yang Menguasai Bahasa), sebagai pengakuan atas jasa-jasanya.
Akhir Hayat dan Warisan H.B. Jassin untuk Sastra Indonesia
Jassin meninggal pada 11 Maret 2000 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada usia 82 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Kalibata, sebagai bentuk penghormatan atas kontribusinya bagi bangsa. Warisan intelektualnya hidup dalam karya yang ia ulas, dalam generasi penulis yang ia bimbing, dan dalam pusat dokumentasi yang menjadi mercusuar sastra Indonesia.
Jassin adalah produk sekaligus salah satu pelopor sejarah sastra Indonesia modern. Dari era kolonial, pendudukan Jepang, kemerdekaan, hingga Orde Baru, ia menjadi saksi dan aktor utama dalam transformasi sastra Indonesia. Kritiknya yang edukatif dan apresiatif tidak hanya menilai karya, tetapi juga membentuk arah perkembangan sastra Indonesia modern. Dalam polemik Langit Makin Mendung dan puitisasi Al-Quran, ia membuktikan bahwa sastra adalah senjata yang mampu melawan tirani, merawat identitas, dan membangun peradaban.
Jassin pernah berkata, ”Seorang kritikus adalah pelayan sastra, bukan tuannya,” dan dalam pelayanannya itulah, ia menjadi raja tak tergantikan.
Berikut ini adalah beberapa karya H.B. Jassin yang bisa ditelusuri,
Kritik Sastra; Tifa Penyair dan Daerahnya (1952), Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I-IV (1954, 1967; edisi baru, 1985), Kisah: Sorotan Cerita Pendek (1961), Sastra Indonesia sebagai Warga Sastra Dunia (1983), Pengarang Indonesia dan Dunianya (1983), Sastra Indonesia dan Perjuangan Bangsa (1993), Koran dan Sastra Indonesia (1994);
Sebagai Editor; Gema Tanah Air (1948), Kesusastraan Indonesia di Masa Jepang (1948), Amir Hamzah Raja Penyair Pujangga Baru (1962), Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1963), Angkatan 66: Prosa dan Puisi (1968), Heboh Sastra 1968 (1970), Polemik: Suatu Pembahasan Sastra dan Kebebasan Mencipta Berhadapan dengan Undang-Undang dan Agama (1972);
Terjemahan; Chusingura karya Sakae Shioya (terjemahan bersama Karim Halim) (1945), Renungan Indonesia karya Sjahrazad (1947), Terbang Malam karya A. de St. Exupery (1949), Api Islam karya Syed Ameer Ali (1966), Cerita Panji dalam Perbandingan karya Poerbatjaraka (terjemahan bersama Zuber Usman) (1968), Max Havelaar karya Multatuli (1972), Cis karya Vincent Mahieu (1976), Cuk karya Vincent Mahieu (1976), Pemberontakan Gudalajara karya J. Slauerhoff (1976), Al Qur'anul'-karim - Bacaan Mulia (1978), Teriakan Kakatua Putih: Pemberontakan Patimura di Maluku karya Joohan Fabricius (1980), Berita Besar (1984), Percakapan Erasmus karya Desiderius Erasmus (1985), Multatuli yang Penuh Teka-Teki karya Willem Frederik Hermans (1988);
Karya Lainnya; Surat-Surat 1943-1983, kumpulan surat (1984), Darah Laut: Kumpulan Cerpen dan Puisi (1997), Omong-Omong H.B. Jassin (Perjalanan ke Amerika 1958-1959), otobiografi (1997);
Sebagai perkenalan Jassin adalah seorang penyair juga, mari kita simak salah satu puisi karya H.B. Jassin berikut ini,
SELINTAS KESAN
Genderang berderam-deram,
Sepatu berderap-derap,
Terompet meteret-tet-tet,
Sorak manusia riuh gempita.
Lihat mereka tegap dan gagah,
Arab, India, Tionghoa, dan Indonesia.
Berbaris rapat teguh bersatu,
Satu tujuan: Asia Raya!
Menderu melintas mesin udara,
Tamsil pelindung yang Maha Kuasa,
Atas rakyat berjuta-juta.
Seluruh Asia bangun berbangkit,
Melepaskan belenggu perbudakan Barat,
Menuju Sinaran Matahari Terbit.
16 Maret 1942
Sumber: Darah Laut (1997)
---- dari puisi di atas, kita bisa melihat, bahwa puisinya bernuansa kemerdekaan dan perjuangan, bukan hanya karena titimangsa puisi yang ditulis pada tahun masa kemerdekaan, tapi juga pada tema dan pilihan diksi yang dipilih pun bernuansa perjuangan.
Melihat bentuk penulisannya, puisi di atas ditulis dalam bentuk soneta, meskipun tidak sepenuhnya seketat soneta barat. Tapi dari strukturnya, puisi di atas adalah soneta.
Selanjutnya, mari kita berkenalan dengan kepuitisan Jassin dalam terjemah al-qur’an bacaan yang mulia, berikut tersaji juga versi terjemahan Depag.
Surat An-Naba Ayat 1-7
عَمَّ يَتَسَآءَلُوۡنَۚ
عَنِ النَّبَاِ الۡعَظِيۡمِۙ
الَّذِىۡ هُمۡ فِيۡهِ مُخۡتَلِفُوۡنَؕ
كَلَّا سَيَعۡلَمُوۡنَۙ
ثُمَّ كَلَّا سَيَعۡلَمُوۡنَ
اَلَمۡ نَجۡعَلِ الۡاَرۡضَ مِهٰدًا
وَّالۡجِبَالَ اَوۡتَادًا
Terjemahan versi Jassin dalam Al-Qur`an Bacaan Mulia
Tentang apakah mereka saling bertanya?
Tentang berita yang besar
yang mereka berselisih paham tentangnya
Tidak, mereka akan tahu!
Pasti, pasti mereka akan tahu!
Bukankah telah kami jadikan bumi sebagai hamparan?
Dan gunung-gunung sebagai pancang?
Terjemahan versi Departemen Agama
Tentang apakah mereka saling bertanya-tanya?
Tentang berita yang besar
yang mereka perselisihkan tentang ini
Sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui,
Kemudian sekali-kali tidak; kelak mereka akan mengetahui.
Bukankah kami telah menjadikan bumi itu sebagai hamparan?
dan gunung-gunung sebagai pasak?
Untuk lebih dalam menelusuri polemik ini, sila lanjutkan membaca jurnal ilmiah yang konsentrasi penelitiannya terhadap polemik penerjemahan Jassin , atau kajian bandingan terjemahan Jassin dengan Depag. Dalam hal ini, ada yang beranggapan bahwa, dengan membaca terjemahan versi Jassin, banyak yang dimudahkan untuk mengerti dan mendalami Al-Qur`an. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa, pada beberapa bagian, terjemahan Jassin banyak salah, tidak tepat dan berpotensi menyesatkan, seperti yang disampaikan oleh penggugat saat terjemahan ini muncul.
Demikian. Sekian terimakasi.
CAG!
Aku Cinta Padamu
Cacatan harian #28
----- ternya kita lebih sering tidak siap menghadapi bencana, seklipun sudah datang berulang sama
Tags
ADA BAKWAN