Oleh Zastrow Al-Ngatawi
Gen-Z (selanjutnya: generasi muda) tidak hanya “aset” mutiara Bangsa yang pada saatnya akan berkilau dan diperebutkan keberadaannya. Barangkali, di usianya yang masih belia ia tampak tidak berharga, dan kerap diabaikan, lebih-lebih di era digital seperti sekarang, merebut ruang dan eksis di media sosial menjadi sebuah keniscayaan. Bila tidak, maka eksistensinya akan tenggelam.
Generasi muda sadar hal itu, dan mereka harus bergerak, tidak peduli, apakah yang sudah dilakukan di media sosial melanggar atau tidak, bagi sebagian dari mereka, viral dan estetika bentuk menjadi modal utama. Dan kecenderungan hidup secara individu jauh lebih kuat ketimbang hidup berkerumun, apalagi tidak produktif. Generasi muda tetaplah generasi yang akan mewakili zamannya, paling tidak, mereka bertanggung jawab untuk diri dan kehidupannya.
Oleh karenanya, kita tiba bisa sepenuhnya memaksa generasi muda mengikuti pola kehidupan sebagaimana para orang tua. Bagaimana pun, setiap generasi memiliki zaman dan pilihan yang, mustahil disamaratakan. "Jangan besarkan anakmu dengan cara orangtuamu membesarkanmu dulu, karena mereka lahir di zaman yang berbeda." Demikian Sayyidina Ali RA. berpesan.
Cara generasi muda berpikir dan mengambil suatu tindakan berbeda dengan cara dan pola yang dilakukan oleh generasi sebelumnya, demikian juga dalam hal mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya.
Bila generasi sebelumnya lebih memilih mengedapankan dan bermeditasi sebelum melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kreativitas, maka tidak demikian dengan generasi kekinian. Mereka cenderung “melemparnya” ke publik lewat media sosial sebelum kemudian melakukan evaluasi. Mereka, dengan cepat, tangkas, dan kreatif dalam sekejap ngeshare. Kecepatan dan ketangkasan yang mereka miliki sangat penting untuk kita fasilitasi dan dampingi, khususnya dalam bidang pengembangan kebudayaan Nusantara yang sarat dengan makna dan filosofi.
Dalam melakukan pendampingan tentu berbeda pola, bila pada generasi sebelumnya, pendampingan dilakukan secara masif dan aktif, bahkan cenderung memaksakan, maka tidak demikian dengan saat ini. Sudahlah pasti, cara-cara yang kaku akan segera ditinggalkan dan diabaikan, sebagus dan sebaik apapun nilai yang terkandung di dalamnya. Kita pun tidak selalu perlu mengajari dan mengharuskan mereka untuk meniru apa yang telah ada.
Membuka pintu dan membangun
Yang perlu dilakukan adalah membuka pintu kreativitas mereka, memberi ruang untuk berkembang, dan memberikan "imunisasi" yang memungkinkan mereka bertahan dan berkembang dalam menghadapi perubahan zaman. Konsep ini dapat kita sebut sebagai "vaksin kultural" atau alat untuk menguatkan generasi terkini agar tetap terhubung dengan akar budaya tanpa kehilangan jati diri dalam kemajuan global.
Salah satu peran utama kita sebagai generasi yang lebih tua adalah membuka jembatan bagi anak muda untuk menghubungkan diri mereka dengan gen kultural bangsa ini. Gen kultural di sini bisa dipahami sebagai warisan nilai, tradisi, dan kebudayaan yang sudah ada sejak zaman dahulu. Namun, bukan berarti mereka harus mematuhi atau mengikuti kebudayaan tersebut secara membabi buta. Melainkan, jembatan ini berfungsi untuk memberi mereka akses pada kekayaan budaya, sehingga mereka dapat melihatnya sebagai sumber inspirasi dan kreativitas yang tak terbatas.
Dengan membuka jembatan ini, anak-anak muda bisa menyerap esensi dan semangat dari budaya lama, sambil mengadaptasinya sesuai dengan zaman mereka. Proses ini memungkinkan mereka untuk menciptakan hal-hal baru yang tetap mencerminkan akar budaya tersebut, tetapi juga relevan dengan kebutuhan dan perkembangan dunia yang serba cepat ini. Oleh karenanya, kita perlu memasukkan "injeksi" baru
Gen kultural Nusantara bukanlah sesuatu yang statis. Ia selalu berkembang, beradaptasi, dan tumbuh sesuai dengan konteks zaman. Salah satu cara untuk menjaga agar budaya tidak tergerus oleh arus modernitas adalah dengan memasukkan "injeksi baru" dalam bentuk ide, nilai, dan inovasi yang bisa menghidupkan kembali dan menyegarkan warisan budaya. “Injeksi” ini tidak hanya berupa teknologi atau tren terbaru, tetapi juga bisa berupa perspektif baru terhadap cara pandang terhadap budaya itu sendiri.
Anak muda, dengan keterbukaan dan fleksibilitas terhadap hal-hal baru, menjadi agen yang ideal untuk menerjemahkan injeksi-injeksi tersebut. Dengan menggabungkan ide-ide kreatif dari dalam dan luar negeri, mereka bisa menghasilkan karya yang tidak hanya mempertahankan nilai-nilai kultural tetapi juga membawa budaya Nusantara ke panggung dunia dalam bentuk yang segar dan relevan.
Di tengah perkembangan zaman yang serba cepat dan penuh gejolak ini, kadang kita merasa seperti harus "menonjol" agar bisa bertahan dan dihargai. Namun, ada kebijaksanaan yang bisa kita petik dari filosofi akar dalam budaya kita. Seperti akar pohon yang tersembunyi di bawah tanah, kita sebagai generasi yang lebih tua cukup "menjadi akar" yang kokoh dan mendalam, mendukung generasi muda tanpa harus selalu menonjolkan diri. Kita cukup ada, memberi mereka fondasi yang kuat agar mereka bisa tumbuh dengan baik.
Akar ini tidak terlihat, tetapi ia memberikan kestabilan dan ketahanan pada pohon. Begitu juga dengan budaya, meskipun tidak selalu terlihat jelas, pengaruhnya tetap mendalam dan memberikan arah yang jelas bagi generasi muda. Kita cukup menjadi penopang yang tidak terlihat, membiarkan mereka berkembang sesuai dengan potensinya, namun tetap terhubung dengan nilai-nilai yang telah ada.
Sebagai generasi yang lebih tua, kita bukanlah "guru" yang hanya memberi tahu anak muda apa yang harus dilakukan. Peran kita adalah lebih sebagai "fungsi" yang mendukung proses kreatif mereka. Fungsi ini bukan berarti mendikte atau mengatur, melainkan memberi mereka sarana dan ruang yang aman untuk berkreasi dan berinovasi. Kita berperan sebagai fasilitator, yang memberi mereka akses ke pengetahuan dan pengalaman, namun juga memberi kebebasan untuk mencari jalan mereka sendiri.
Fungsi kita adalah memastikan bahwa mereka tidak terputus dari akar budaya yang telah ada, tetapi juga tidak terjebak dalam stagnasi. Kita membantu mereka memahami bahwa warisan budaya bukanlah beban, melainkan kekuatan yang dapat dijadikan pijakan untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik.
Pada akhirnya, peran kita adalah menjadi akar yang kuat, memberikan keseimbangan dan ketahanan. Kita tidak perlu menonjolkan diri atau berusaha menguasai jalannya peradaban, melainkan cukup mendukung dan memberi ruang bagi anak muda untuk berkembang sesuai dengan potensi mereka. Seperti akar yang tidak terlihat namun sangat penting bagi kehidupan pohon, kita juga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan mereka.
Genetika kultural Nusantara adalah warisan yang harus terus hidup, berkembang, dan disesuaikan dengan zaman. Dengan memberikan anak-anak muda "vaksin kultural," kita membantu mereka untuk tetap memiliki imun yang kuat terhadap tantangan zaman, sambil tetap menjaga esensi budaya yang telah ada. Kita, sebagai generasi yang lebih tua, cukup berfungsi sebagai akar yang kokoh, memberi mereka fondasi yang kuat untuk tumbuh dan berkembang dalam dunia yang penuh dengan perubahan.
Dengan cara ini, kita memastikan bahwa generasi muda dapat melangkah dengan kepala tegak, membawa warisan budaya mereka dalam bentuk yang segar dan relevan, sambil tetap menjaga koneksi dengan akar mereka. Seperti pohon yang tumbuh kuat dan sehat, mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang tidak hanya sukses secara individu, tetapi juga mampu memperkaya warisan budaya Nusantara.