Asrul Sani; Sebuah Pilihan Jalan Berpuisi

Oleh Ummi Ulfatus Syahriyah


“Yang abadi dalam seni itu bukan bentuknya, melainkan niatnya,” – Asrul Sani.


Kutipan di atas membuat saya terhenti, merasa perlu merekonstruksi kembali niat paling dalam untuk menulis puisi. Sebuah kutipan yang membawa seni, dan utamanya puisi, melampaui estetika lahiriah menuju etika batiniah.

Dua hari yang lalu, saya membaca kumpulan esai dalam satu dokumen “Buku Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025” dengan judul Asrul Sani: Jalan Wasatiyah Kebudayaan Indonesia. Dari esai-esai yang ditulis oleh Jamal D. Rahman, Ngatawi Al-Zartrouw, Mahwi Air Tawar, Mukhlisin Ashar, Andy Lesmana, dan Angin Kamajaya, saya mengenal sosok dan pemikiran Asrul Sani tentang kebudayaan secara lebih mendalam.

Dari kumpulan esai yang diinisiasi oleh komunitas ada kopi dan Semaan Puisi tersebut saya merasakan sesuatu yang sangat ironis dalam diri saya. Ini agak ironis memang, dan saya merasa bersalah. Ya, bagaimana mungkin sosok sastrawan sepenting Asrul Sani luput dari perhatian saya? Ini terasa memalukan, sebab Asrul Sani tidak hanya budayawan penting, tapi juga merupakan salah satu pendiri dan penggerak awal Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi NU). Sebagai seorang santri yang berhaluan Ahlusunna Wal'jamaah, ketidaktahuan saya akan salah satu pendiri dan budayawan penting dari kalangan NU ini adalah sebuah ironi besar. Asrul Sani tidak hanya dikenal sebagai sastrawan yang bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin melahirkan buku kumpulan puisi penting Tiga Menguak Takdir, tetapi juga sebagai pemikir kebudayaan yang melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang. Sikapnya yang tegas dan sintesis ini lahir dari penolakan terhadap pemisahan kaku dalam Polemik Kebudayaan era 1950-an. Asrul menolak menerima kebudayaan Barat secara mentah-mentah, tetapi juga tidak menerima sepenuh jiwa kebudayaan Timur yang dianggapnya terkungkung konvensionalisme. Ia menghendaki adanya jalan tengah yang berakar pada jatidiri Indonesia yang spiritual dan modern.

Sebelumnya, saya hanya membawa nama-nama sastrawan Indonesia seperti Pramoedya Anan Toer, Chairil Anwar, Amir Hamzah, Hamzah Fansuri, dan beberapa sastrawan lainnya. Mungkin di luar dan di dalam gelanggang kesusastraan Indonesia saat ini, terutama dari kalangan Gen-Z seperti saya, banyak juga "saya-saya" yang lain yang tidak begitu mengenal siapa Asrul Sani dan sastrawan-sastrawan penting Indonesia di masa lalu. Saat ini, "saya-saya" yang lain lebih mengenal Tere Liye, ketimbang mereka. Sementara, nama Asrul Sani, sebelumnya, yang saya tahu ia hanya nama salah satu gedung kesenian di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Sebuah pengakuan yang memalukan bagi seseorang yang mengaku menggeluti sastra.

Dari dokumen “Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025” Asrul Sani: Jalan Wasatiyah Kebudayaan Indonesia baru saya ketahui bahwa, Asrul Sani merupakan center penggerak kebudayaan dengan ruh-ruh spiritualitas, tentunya dengan nilai-nilai moral yang melekat di dalamnya. Ia memosisikan kebudayaan sebagai medan otonom yang harus bebas dari tirani politik.

Ketika didirikan Lekra dan Manikebu—yang keduanya memiliki afiliasi ideologi masing-masing (komunis/realisme sosialis yang politis, dan humanisme universal yang sering dianggap apolitis)—Asrul memilih untuk menolaknya dan berusaha menengahi keduanya. Beliau tak menghendaki kebudayaan berpayung di bawah politik pun bergerak bebas tanpa moralitas yang menjadi dasar ruhnya. Penolakannya terhadap Lekra dan Manikebu adalah manifestasi lain dari sikap wasatiyah-nya: kebudayaan harus berdiri tegak di atas nilai spiritualitas dan kemanusiaan, bukan di bawah bendera partai atau dogma tunggal. Pada akhirnya beliau mendirikan Lesbumi, yang hingga saat ini masih eksis menjadi lembaga kebudayaan milik NU, sebuah bukti nyata upaya penyatuan budaya dan moralitas keagamaan.

Andaikan saya dipinta menulis sebuah ulasan tentang keresahan yang selama ini menyelimuti perjalanan saya dalam menulis puisi, maka saya akan menuliskan secarik puisi ini untuk Asrul Sani:

Kutatap sayu wajah puisiku Yang terpampang di beranda media Kutanya kenapa ia lesu Ia menjawab, “Aku hanya duduk di bait-bait kosong. Akankah jasad puisiku akan bertahan?” Lalu kau datang sembari membawa makna Kau menggenggam dua gelas ideologi Kau menawarkanku, “Gelas mana yang kau pilih dan minum?” Aku tersenyum dan memilihmu Sebagai air makna lalu kutuangkan pada gelas puisiku.

Saya adalah alumnus pesantren yang seringkali membaca karangan-karangan sufistik, pun seorang akademisi yang suka membaca keragaman budaya dan agama (multikulturalisme). Sesekali saya meluapkan keresahan ekologi dengan memuntahkan puisi. Selama ini, saya berusaha ke sana kemari mencari jalan puisi yang hendak saya geluti. Namun setelah saya membaca pemikiran Asrul Sani lewat kumpulan esai tersebut, saya semakin optimis untuk memilih jalan puisi yang estetis-spiritualis. Sebagaimana jalan kebudayaan yang Asrul Sani buka untuk kami.

Gagasan yang didirikan oleh Asrul Sani memiliki hirah yang sejalan dengan sebuah kaidah ushuliyah, al muhafazatu alal qadim as shalih wal akhdzu bil jadid al aslah. Mempertahankan identitas lama yang masih relevan dan mengambil nilai modern yang sekiranya sesuai.

Sebagaimana diungkapkan para sastrawan dalam kumpulan esai tersebut, jalan kebudayaan yang Asrul Sani pilih adalah jalan wasatiah kebudayaan. Wasatiah yang tak hanya bermakna netral dan statis di tempat, melainkan menjadi sintesis antara dua hal, baik kebudayaan Timur yang kaya spiritualitas dan Barat yang unggul dalam rasionalitas, tradisional dan modern, maupun komunis dan humanisme universal. Inilah yang membedakannya dari peserta Polemik Kebudayaan sebelumnya; ia menawarkan kebudayaan yang dinamis dan berjiwa.

Dari pembacaan terhadap Asrul Sani, saya memahami proses kreatif seniman pun penyair dalam menulis. Bagaimana seorang penyair tidak hanya menuliskan karya secara lahiriah yang bersifat profan melainkan menyisipkan makna-makna batin yang membentuk jati diri penulisnya sendiri.

Dari kutipan Bapak Mahwi, saya menemukan kalimat menarik bahwa menulis dan membaca dilakukan bukan untuk dikenang semata melainkan untuk melestarikan kebudayaan agar tidak kehilangan identitasnya.

Sebagaimana Asrul Sani, yang menuliskannya pada Surat Kepercayaan Gelanggang:

“Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri…kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.”

Asrul Sani menyampaikan bahwa kita janganlah sampai tercerabut dari akar kebudayaan kita sendiri, namun juga jangan terkungkung dalam konvensionalisme. Inilah solusi atas Polemik Kebudayaan: Tradisional dan modernitas itu perlu diaduk bersama dalam satu mangkuk kebudayaan, menciptakan sintesis yang orisinal dan progresif.

Asrul Sani juga mengajarkan kebudayaan sejati yang menyeimbangkan antara aspek ketuhanan dan kemanusiaan. Dan di setiap karya yang benar, maka hendaknya dapat dipertanggungjawabkan di depan keduanya. Artinya puisi yang baik bukan hanya yang menyimpan estetika bahasa semata melainkan memiliki nilai kemanusiaan dan ketuhanan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan pada keduanya.

Sebagai seorang penyair amatir yang masih baru, saya akan mencoba menjadi penyambung gagasan Asrul Sani, menapaki jalan wasatiah kebudayaannya. Di tengah kemelut panggung kebudayaan—terkhususnya sastra—ini, saya mengucapkan terimakasih untuk Asrul Sani karena membuka jalan baru bagi saya dengan wasilah para sastrawan, terkhusus Mas Mahwi Air Tawar.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak