PADA TITIK RAPUH ANTARA KEKUASAAN DAN KEMANUSIAAN
'untuk Gubernur Khofifah'
Karya: Joni Apriyanto
Di halaman kecil itu,
tempat angin mengajarkan arti tumbuh,
anak-anak berlari mengeja cita,
tanpa ayah, tanpa ibu,
tapi dengan harapan yang tak pernah gugu.
Di dinding yang mulai retak,
mereka menggambar masa depan:
sekolah, buku, seragam sederhana,
dan senyum yang ingin mereka hadiahkan
kepada tanah kelahiran: Sumenep yang ramah.
Namun kabar datang seperti musim kemarau
yang memutus sungai sebelum mengalir:
panti itu akan dibubarkan,
begitu saja,
oleh kebijakan seorang Gubernur
yang tak pernah duduk mendengar
cerita sederhana dari bibir mereka.
Tak ada ruang musyawarah,
tak ada tangan yang meraba luka,
seolah masa depan anak-anak
dapat dilipat seperti peta tua
lalu dibuang ke laci kekuasaan.
Padahal mereka masih ingin belajar,
masih ingin pulang membawa nilai,
masih ingin menyebut Sumenep
sebagai tempat yang memeluk,
bukan yang mengusir.
Maka malam itu,
di bawah lampu redup,
mereka berdoa dengan suara kecil
yang lebih jujur dari pidato mana pun:
“Tuhan, biarkan kami tetap tinggal,
biarkan kami tetap sekolah,
biarkan kami tetap punya tempat,
untuk menyimpan mimpi-mimpi kecil kami.”
Dan angin dari arah pesisir
menyampaikan doa itu ke langit,
seakan berkata kepada penguasa:
bahwa kekuasaan hanyalah singgah,
tapi masa depan anak-anak
adalah amanah
yang tidak boleh digusur.
Gubernur,
dengarlah langkah-langkah kecil itu;
mereka bukan ancaman,
mereka adalah masa depan
yang sedang belajar bertahan
dari kebijakan yang tak berpihak.
Semoga suatu hari,
sebuah pintu terbuka kembali
bukan untuk mengusir,
tapi memeluk.
Gorontalo, 14 November 2025.
BALADA PANTI PPSAA SUMENEP
‘untuk anak-anak ku di panti’
Karya: Joni Apriyanto
Di ujung senja Sumenep yang lembut,
berdiri sebuah panti diapit sunyi;
di sana anak-anak tumbuh dengan tekad,
meski dunia kadang tak sudi peduli.
Mereka belajar menulis harapan
di atas meja kayu yang mulai aus;
tawa kecil jadi penyangga kehidupan,
dalam ruang yang sederhana,
namun tak pernah putus.
Lalu kabar datang seperti petir,
mengoyak langit tanpa ampun:
panti itu akan dibubarkan,
atas titah penguasa
yang tak pernah melihat mata mereka
yang terus menyala seperti lampu jaga.
Malam itu mereka berkumpul,
di halaman yang biasa jadi tempat berlari;
angin membawa kecemasan kecil,
dan doa-doa yang lirih sekali.
“Oh Ibu Gubernur,
kemana kami harus pulang
jika rumah sendiri tak lagi mengizinkan?
Oh Sumenep, tanah kelahiran,
maukah engkau memeluk kami
ketika kebijakan justru membuang?”
Balada itu mengalun pelan,
dibawa suara seorang anak:
“Kami hanya ingin sekolah,
kami hanya ingin tumbuh,
mengapa mimpi kami
harus dibubarkan lebih dulu
daripada panti ini runtuh?”
Dinding tua seolah ikut menangis,
pohon mangga di sudut halaman pun diam;
hanya bulan yang menghibur
dengan sinar yang perlahan-pelan,
memberi hangat pada hati yang merajam.
Dan ketika fajar datang besok pagi,
mereka tetap berdiri,
meski gelisah menjejali napas:
sebab masa depan tak boleh mati,
meski kekuasaan kadang begitu terbatas.
Inilah balada anak-anak panti:
mereka yang hampir kehilangan rumah,
tapi tidak kehilangan nyala;
mereka yang hendak digusur kebijakan,
tapi tak bisa digusur
dari kenangan Sumenep,
dan dari masa depan bangsa.
Gorontalo, 14 November 2025.
Tentang penulis cukup nama saja tidak usah pake embel-embel gelar dsb. Joni Apriyanto Sejarawan Universitas Negeri Gorontalo.
