Cerpen: Bakso Beramal

 


Oleh Rizky Maulana Fata’ah


Asing dengan malam minggu, Fenta berusaha mencari cara mengalahkan malam yang disukai hampir separuh warga dunia itu. Semua hal buruk ia harapkan terjadi. Banjir bandeng (ikan) yang menghanyutkan tempat-tempat nongkrong. Kebakaran satu kecamatan. Pemadaman listrik di sepertiga negara. Invasi lebah di seluruh indonesia demi memanen madu di senyum manusia. Sampai, kiamat. Belum selesai rencana bencana di kepalanya muncul, sepeda motornya sudah berhenti di parkiran minimarket yang berzodiak Aries itu.

Tidak sampai empat menit berada dalam minimarket, Fenta keluar memegang cemilan dan sekaleng larutan penyegar yang isinya sudah tandas. Urusannya tadi ditambah cuaca membuat tikungan-tikungan dalam tenggorokannya menjadi sempit. Air liurnya sulit lewat sehingga butuh pelumas. Setelah bunyi klik pada helm, ia tancap gas.

Ketika dekat kios buah, Fenta buru-buru menepikan sepeda motor. Si pelayan langsung bangkit siap melayani, namun duduk kembali dengan malu ketika melihat Fenta malah mengeluarkan HP dari kantong depan celananya lalu ditempelkan ke telinga.

“Lagi di mana?” tanya seseorang dari rumahnya.

“Lagi di jalan. Arah pulang,” belum sempat bertanya kenapa, telepon sudah ditutup.

Badan jalan yang terdapat genangan air ikut menyala oleh warna langit yang mirip wortel baru dipanen. Pukul enam sore yang belum sibuk. Tapi sebentar lagi berubah dan banyak menuntut. Fenta berkendara dengan khidmat. Pikiran usilnya tentang bencana di malam ini pelan-pelan larut oleh larutan penyegar.

“Si Cola barusan ke sini,” teriak kakaknya dari kamar begitu mendengar suara sepeda motor berhenti di teras. Benar saja. Di HP Fenta terdapat pesan dari Cola beberapa menit lalu.

Terdengar suara sepeda motor yang Fenta kenal berhenti di jalan depan rumahnya. Fenta meletakan helm ke lantai lalu melempar ranselnya ke kursi ruang tamu. Persis seekor itik lapar yang melihat cacing tiba-tiba keluar dari lumpur, ia berlari menghampiri Cola yang belum turun dari sepeda motor miliknya. 

“Sibuk sekali. Ada kunjungan ke negara tetangga kah?” keluh Fenta sambil duduk di jok belakang.

“Dasar!” singkat Cola langsung memacu sepeda motor. 

“Kerja sampai uban warna ungu begitu,” kata Fenta.

“Ini dicat. Kerjaanmu sendiri bagaimana?” tanya Cola sambil memegang rambutnya sendiri yang bergaya undercut.

“Dikerjain,” Fenta gusar.

 “Huh, si paling ditipu hidup,” Cola Meledek.

Jalanan tampak lengang untuk ukuran malam minggu. Sebagian masih di rumah barangkali. Di hadapan cermin. Menuntaskan ketidakpercayaan diri dengan memantaskan diri. Atau masih berkelahi dengan pekerjaan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan dalam delapan jam. Malam yang beruntung bagi yang mujur. Sial buat yang berangsur uzur dan memilih mundur.

Meski lokasinya yang agak masuk ke gang, kedai bakso tersebut tampak ramai. Fenta dan Cola langsung masuk dan memesan. Dua porsi Bakso Beranak. Tapi begitu sudah duduk, Fenta tiba-tiba bangkit dan kembali meralat pesanannya. “Tidak pakai mi kuning. Bihun saja.”

Saat kembali ke meja, Cola tampak akrab mengobrol dengan seorang wanita di meja sebelah. Sesekali wanita itu mengusir panas dari sendok dengan nafasnya sebelum disuapkan ke mulut anaknya. Tak ingin mengganggu, Fenta lalu membuka aplikasi berlogo huruf Q berwarna merah daging di HP miliknya.

Dua meja panjang berikut bangku kayu panjang ditempatkan menghadap tembok di dua sisi. Satu meja di bagian paling belakang. Dua meja berukuran sedang di tengah dengan kursi plastik. Satu meja panjang di dekat pintu masuk berhadapan dengan jendela berterali kayu dengan pola jajargenjang dicat hijau. Dengan tata ruang seperti itu, kedai yang tidak terlalu luas itu mampu menampung cukup banyak pelanggan. Hanya saja lampu ruangannya tampak redup, membuat para pelanggan teringat akan usia.

Setelah pengunjung yang duduk di meja dekat jendela pergi, Fenta dan Cola memutuskan pindah ke meja tersebut. Dari situ, mereka bisa langsung melihat jalanan di luar dan orang lalu-lalang. Tampak sepeda motor diparkir serampangan di bawah pohon mangga rindang. Ada beberapa anak duduk di bangku luar sedang mengobrol. Sekitar lima orang anak. Beberapanya berdiri dan terlihat tertawa merespon candaan temannya.

“Sorry. Minggu lalu not good body, jadi ajakanmu kukeep dulu,” Cola membuka obrolan.

“Santai. Cuaca memang lagi kayak musuh akhir-akhir ini.”

“Maksudnya, Ta,” Cola bingung.

“Tidak bersahabat, Col,” balas Fenta sambil senyum.

“Dasar, ketiak ular.”

“Habisnya ngomong setengah inggris setengah lusin sih. Efek kunjungan ke negara tetangga nih?” Fenta meledek.

“Negara tetangga, negara tetangga. Orang dapat lembur,” keluh Cola.

Sekarang Cola yang tiba-tiba bangkit dari duduk. Si ibu kenalannya yang selesai membayar tagihan di kasir pamit padanya. Cola membalas dengan senyum dan melambai, lalu kembali duduk. Tiga anak di luar tadi masuk. Mereka duduk berhadapan dengan Fenta dan Cola di meja yang sama. Dua anak lainnya masih di luar. Sepertinya sedang menunggu pesanannya dihidangkan.

Pesanan mendarat di meja. Fenta langsung meminta Cola untuk menggeser botol kecap ke dekatnya. Cola mencicipi kuah bakso sebelum ditambahi saos tomat, sambal atau garam yang disediakan di meja. Kedua anak tadi masuk dan duduk berjejer dengan tiga teman lainnya.

“Musim hujan begini makan bakso memang mantap,” Cola menambahkan sambal ke mangkuk baksonya.

“Afhalagi ffhass hhhagi hiilekk,” balas Fenta dengan mulut penuh dan kepanasan sambil sesekali menarik nafas dari hidung untuk mencegah ingusnya jatuh.

“Lagi ngomong atau kumur sih, Ta?” Cola tidak paham.

“Haghhi Hhummur.”

“Ha? Lagi makan kok gali sumur?” Cola menggeleng.

Cola menghampiri pelayan yang berdiri di dekat meja kasir untuk meminta tisu tambahan. Setelah kembali, wajahnya tampak lebih keriput dari semenit yang lalu. Ia seperti tengah memikirkan sesuatu yang serius. Mungkin air yang ia minum rasanya aneh karena ada gigi palsu di dasar gelas. Atau warna tisu yang ia minta seharusnya bukan putih. Entah apa alasannya, tapi wajahnya memiliki campuran antara sedih dan kesal sehingga melahirkan ekspresi baru yang belum memiliki nama.

Pelayan datang membawa beberapa mangkuk berisi mi ayam dan sebungkus tisu. Mangkuk diletakan di ujung meja. Secara estafet, mangkuk itu dioper oleh anak di ujung meja hingga mangkuk itu sampai ke anak yang duduk di ujung meja yang berlawanan.

Sekilas pemandangan estafet mangkuk itu mirip kertas soal ujian yang diedarkan oleh guru. Dimulai dari anak yang duduk di kursi paling depan dan seterusnya, hingga semua murid kebagian kertas soal ujian. Meski begitu, terdapat setidaknya tiga perbedaan dari dua kegiatan yang mirip tersebut.

Pertama, alasan estafet mangkuk dilakukan karena posisi meja berada di pojok ruangan sehingga sulit dilewati pelayan, sedangkan estafet kertas soal sebagai opsi kedua untuk memudahkan proses pembagian ketimbang dibagikan satu persatu dari meja ke meja. Kedua, arah edaran mangkuk dilakukan secara menyamping, sedangkan kertas ujian diedarkan dengan posisi membelakangi. Ketiga, jumlah kertas soal ujian biasanya lebih banyak dari jumlah murid sehingga semuanya pasti kebagian, sedangkan di kasus mangkuk mi ayam, dari kelima anak hanya tiga anak yang mendapatkannya.

Fenta menambahkan garam ke baksonya sambil menyeka keringat. Ia menunda mengambil tisu di depannya karena baru menyadari kedua anak di hadapannya tidak mengaduk mi ayam seperti yang dilakukan ketiga temannya.

“Pesanannya belum jadi dek?” tanya Fenta ragu.

“Tidak kak, kami tidak pesan,” jawab anak yang baru masuk tadi.

“Terus disini cuma main?” Fenta bingung.

“Iya, kak,” balas si anak.

 “Mau makan tidak dek?” Kakak traktir,” Cola nimbrung.

Dengan lengannya, anak itu menggesek lengan teman di sebelahnya sambil wajahnya terus menatap ke arah meja. Temannya menggeleng menolak. Ia gagu karena ragu. Mungkin mau tapi malu.

“Mbak, mi ayam dua porsi buat dua adik ini ya,” pinta Cola pada pelayan di dekatnya. Wajah kedua anak itu seketika berubah dari kuning ke merah. Di samping Cola, Fenta menatapnya sambil bergantian menatap wajah kedua anak tersebut.

Di luar, terdengar suara sepeda motor dinyalakan dan ada yang dimatikan. Pengunjung di kedai ini datang dan pergi. Semakin malam semakin datang dan pergi. Rasa lapar selalu mudah untuk diakali dan semakin sering untuk datang lagi. Pedagang bakso dan istrinya yang membantu tampak kewalahan menyiapkan pesanan. Terlihat dari wajah mereka yang mengkilat di bawah sinar lampu akibat keringat. Namun keduanya tetap tersenyum dan merespon tegur sapa pelanggan.

Bakso Beranak memang menu yang membuat orang kenyang lebih cepat. Masih ada sedikit mi dan kuah yang tersisa di mangkuk Cola, tapi ia sudah mengelap bersih keringat di wajah sampai leher sebelum menenggak habis sisa air di gelasnya. Ia tersenyum mendapati anak-anak di depannya makan tanpa bernafas. Mi ayamnya memang tampak menggiurkan. Cincangan daging ayamnya hampir luber memenuhi mangkuk.

Fenta masih berusaha menghabiskan kuah baksonya yang berwarna gelap oleh kecap. Setelah dirasa mangkuk itu sudah bersih, digasaklah tisu di dekat Cola lalu mulai mencari-cari sisa makanan atau kuah yang bertengger di area bibir.

“Kau sering ke sini?” buka Fenta setelah lama mulut mereka dipakai untuk mengunyah dan menelan.

“Tidak terlalu sering.  Seingatku ini yang ketiga.”

“Yang kedua dengan siapa?”

“Orang di kantorku.”

“Yang pertama?”

Cola menarik nafas lalu memandang aneh Fenta. “Orang kamu nanya terus,” balas Cola kelelahan. Matanya berubah sayu setelah perutnya terisi semangkuk bakso hangat. Percakapan mereka berlanjut soal urusan di tempat kerja masing-masing. Keduanya memang sudah lama tak bertemu. Padahal lokasi kerja mereka masih satu kota. Tapi kesibukan tidak membuat mereka menjadi asing.

Fenta menggeser saklar lampu tanda belok kiri pada kemudi sebelum sepeda motor melambat dan berhenti di persimpangan. Tiga R pun terjadi di persimpangan itu. Ramai. Riuh. Ruwet. Suara klakson langsung menyerbu seperti ada rombongan barongsai yang melintas. Malam minggu mulai menampakan tabiatnya dengan menumpahkan arogansi di jalan-jalan. Padahal ini adalah waktu untuk melepas penat setelah enam hari sebelumnya berjibaku dengan tuntutan nasib dan nafsu. 

Sebelum sampai ke sebuah tanjakan, di seberang jalan tampak keramain yang tidak wajar. Tidak wajar karena di lokasi itu biasanya sepi. Dari jarak sekitar tiga puluh meter, cahaya merah mencolok bergerak-gerak statis. Sebuah tandu yang dipegang oleh dua orang pria keluar dari kerumunan. Beberapa orang di sekitarnya sibuk mengarahkan HP ke arah tandu. Di dekat tiang listrik yang posisinya sudah miring, seseorang berjaket kuning duduk tertunduk sambil memegang helm.

“Ngomong-ngomong, ibu-ibu yang bawa anak yang ngobrol denganmu tadi siapa,” tanya Fenta sambil mengemudikan sepeda motor.

“Oh, itu yang punya toko sembako di seberang kantorku,” sahut Cola dari belakang.

“Pantas keliatan akrab,” setelah diam sesaat. “Makasih ya, Col, traktirannya tadi.”

“Bukan aku yang traktir.” Ibu itu yang traktir kamu Ta.”

“Lho, bagaimana bisa?” Fenta menarik tangan kiri dari kemudi untuk menggaruk kening.

“Kasir yang beri tahu waktu aku minta tisu tadi. Katanya ibu itu bayar makanannya sekalian dengan punya kita.”

“Wah, niatnya kamu yang mau traktir aku malah ditraktir orang lagi,” Fenta tersenyum bingung.

“Nasib baik, Ta,” Cola mengusap-usap dadanya. “Baiknya lagi aku menemukan uang seratus ribu di kedai tadi. Uang itu kupakai untuk mentraktir anak-anak tadi.”

“Yang dua anak tadi?” tanya Fenta setelah berpikir sebentar.

“Kelimanya,” balas Cola datar.

Fenta menelan ludah. Ia kembali menggaruk keningnya yang dikira gatal. Di sisa perjalanan pulang, ia lebih banyak diam dan memandang ke depan. Dadanya penuh oleh sesuatu. Saat mengingat bahwa Cola merupakan seorang yatim piatu yang tinggal dengan kakaknya yang sakit-sakitan, di dalam mata Fenta tiba-tiba ada sebuah tungku menyala. Matanya terasa hangat. Ia tahu itu bukan karena kelilipan debu.

Cola sedang memperhatikan toko-toko yang berjejer di pinggir jalan menjajakan bermacam kudapan, minuman, sampai pakaian impor bekas yang digantung rendah sebahu. Fenta melihat Cola dari kaca spion lalu buru-buru menyeka matanya menggunakan bahu.

Tiba di kamarnya, Fenta berganti pakaian bersiap tidur. Saat sedang mengganti celana, ia baru menyadari ada yang tidak beres. Uang seratus ribu yang tadi ia masukan di saku celana tidak ada. Ia ingat betul terakhir disimpan disitu. Kurang puas, ia periksa ransel dan kantung jaket. Nihil. Ia menelan ludah. Menggaruk kening.

Balik kanan. Balik kiri. Terlentang. Tengkurap. Beruntung ia tidak berpikir untuk kayang. Di tempat tidur, Fenta sudah mirip seekor lintah yang ditaburi garam. Tidur menjadi pekerjaan sulit. Di benaknya muncul wajah kelima anak tadi. Berusaha agar tak kesal, ia mulai menghitung mundur dari seratus. Sampai pada hitungan ke delapan belas, ia pun jatuh ke dalam tidur yang serius. Seolah tidur adalah salah satu cabang olahraga yang layak dimenangkan.

Sekitar pukul dua dinihari, ia terlonjak dari tidurnya sambil berteriak-teriak, “BAKSO BERANAK LIMA… BAKSO BERANAK LIMAAA!!!” lalu terbatuk-batuk seperti tersedak mangkuk bakso.


Lembata, 2025

Rizky Maulana Fata’ah lahir di Pulau Lembata, NTT. Lulusan Universitas Pamulang Tahun 2024. Hobi menyaksikan live score pertandingan sepek bola. Alamat Jl. Pindang, Cipedak, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12630. Email: rizkymaulanaatah21@gmail.com | Instagram: @jq_biru

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak