Oleh May Wagiman
Apa Melati membenciku? Laki-laki itu merenung. “Terima kasih sudah mengantar.” Nada ucapannya terdengar seperti potongan dialog di dalam serial telenovela, kaku dan formal. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe di terminal tiga. Noah melirik pergelangan tangan kirinya. Garmin hitam menunjukkan pukul 5.00 pagi. Penerbangan dari Jakarta ke Tokyo akan berangkat sekitar dua jam lagi. Masih ada banyak waktu, namun Noah ingin selekasnya menuju ke bagian Security check.
Melati menyodorkan sesuatu.
“Buatan sendiri?”
Perempuan itu mengangguk.
“Bagus sekali. Terima kasih banyak.” Lagi-lagi, laki-laki itu merasa jarak semakin lebar di antara mereka.
Noah membolak balik omamori buatan istrinya. Menjahit bagi Melati bukan hanya sekadar hobi. Itu terlihat jelas dari semua hasil kreasinya. Sutra biru yang dipilih untuk membuat azimat pelindung itu sangat halus. Dekorasi sulaman yang disematkan tak kalah menarik dengan sulaman pada omamori yang pernah dilihatnya di kuil besar di area Asakusa. Kerapihan jahitan tak perlu dipertanyakan lagi.
“Aku lihat cara buatnya di YouTube.” Senyum menghiasi wajah cantiknya. “Menurut yang aku baca, itu bagian dari tradisi Jepang.” Melati memegang tangan suaminya. “Aku mau kamu selamat terus.”
Noah menepuk-nepuk tangan Melati dan tersenyum, namun menghindari tatapan mata istrinya.
Keduanya lalu terdiam. Noah hampir dapat mendengar detak jantungnya yang berdentam bak meriam meletus. Sebaliknya, suasana canggung seperti tak mengusik perempuan di hadapannya. Setidaknya itu yang dipikir Noah. Ia tak dapat menebak apa yang ada di kepala istrinya. Melati mereguk kopi panasnya, memperhatikan laki-laki yang hampir tak dikenalnya lagi. Cara suaminya memandang–yang dulu hangat, kini terasa kosong.
“Hati-hati. Kabari kalau sudah sampai.” Keduanya berdiri di depan pintu masuk Security check.
Suaminya mengiakan. “Terima kasih lagi untuk ini,” katanya memasukkan azimat ke dalam saku kemeja. Noah terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu, namun kata-kata tak mampu keluar dari tenggorokannya. Akhirnya ia hanya berjalan dan melambaikan tangan.
Menuju gate keberangkatan, displai penataan botol-botol elegan menarik perhatian laki-laki itu. Refleksi seraut wajah yang begitu dikenalnya seperti terpantul di permukaan kaca bening. Semoga dia senang ada stok parfum baru, katanya dalam hati.
“Maaf, nih, pagi-pagi.” Tulis Noah di dalam bahasa Jepang begitu ia duduk di area boarding room. Kedua tangannya sibuk mengirim pesan.
“Ohayo, Noah-chan,” balas Sakura.
Noah tersenyum sendiri.
“Aku masih tunggu waktu boarding. Kalau sudah sampai di bandara Haneda, dikabari lagi.”
“OK.”
Ponsel di tangan Noah kembali bergetar.
“Noah, Melati to hanashita?”
“Belum sempat bilang ke Melati. Secepatnya. Aku janji.”
“Gomen, ne.”
“Enggak perlu minta maaf. Sampai ketemu nanti malam.”
Sejujurnya, banyak yang ingin ia utarakan kepada Melati. Rasa bersalah dan kegalauan berkelindan menyesakkan. Pandangannya memindai langit-langit seolah mencari jawaban. Tanpa sadar dua jari memijat-mijat pelipis. Gumaman kecil `hmm` terlontar berkali-kali. Bagaimana cara halus menyampaikan isi hatinya. Pengecut! Makinya berkali-kali kepada diri sendiri. Tak akan ada cara penyampaian yang halus. Apa pun kata yang dipilih akan sangat menyakitkan perasaan istrinya.
Sejak menjalin hubungan dengan Sakura–seorang rekan kerja–setahun yang lalu, hidupnya berubah 180 derajat. Tak disangkanya menjadi serumit ini. Aku harus bagaimana. Mau tak mau keputusan harus segera diambil. Hatinya dipenuhi kebimbangan. Konflik batin yang terus bertikai semakin lama semakin menggerogoti mental dan fisiknya.
Menghela napas berat, kepalanya bersandar. Waktu boarding masih ada sekitar satu jam lagi. Rasa kantuk yang tertahan sejak dalam perjalanan ke bandara datang menghampiri. Masih lama, gumamnya.
Waktu seakan terbang cepat. Membuka mata, dilihatnya pramugari bercelemek meletakkan bekas makanan penumpang ke dalam sebuah troli. Satu jarinya menekan touch-screen monitor beberapa kali. Mendadak, tampilan layar kecil di depannya berubah menjadi titik-titik acak statik. Dahinya mengernyit. Segera ia menekan tombol panggil pramugari.
Kedua alisnya semakin bertautan menunggu pramugari yang tak kunjung datang. Noah melepaskan headset dan sabuk pengaman lalu beranjak menuju kamar kecil. Di belakang kabin ia berjalan mondar mandir tanpa arah. Sesekali pandangannya mengarah ke luar jendela, tak sadar dua jarum Garmin-nya berputar kencang ibarat gasing tanpa henti.
Matanya mengedar ke sekeliling kabin. Tak biasanya sangat senyap. Sekilas ia meraba tengkuk lehernya. Merasa tak nyaman, Noah beranjak kembali ke tempat duduk. Guncangan naik turun membuatnya bergegas memakai sabuk pengaman, punggung menempel erat pada permukaan sandaran. Speaker kecil di atas kepala mengeluarkan bunyi dengingan tanpa penjelasan.
Perlahan, gumpalan kabut tebal menembus memasuki kabin. Sosok itu merayap bak ular raksasa mendekati mangsanya. Bagaikan tersihir Noah tak mampu bergerak. Suaranya tercekat. Ia mengejapkan mata cepat, tak sengaja menahan napas sampai akhirnya kabut putih itu menipis, menampilkan kembali ruang kabin.
Tak tahu apa yang terjadi, ia terpaku di tempat duduk. Napasnya memburu cepat dan tak teratur. Kedua tangan yang terasa seperti balok es mencengkeram kuat pada dua pegangan kursi. Kendati dalam hati ingin berlari ke depan kabin, kakinya lunglai, tak kuasa berdiri.
Kelap kelip cahaya bintang terlihat menari-nari di luar sana, menyerupai lampu disko. Rona langit biru berawan tergantikan dengan gumpalan-gumpalan kabut melayang. Pesawat udara itu tampak mengambang bisu bagaikan setitik noda hitam menjelajahi semesta.
Samar-samar, telinganya menangkap bunyi dari kejauhan. Seseorang atau sesuatu bersenandung. “Hum …, hum …, hum ….” Bunyi senandung rendah dan berat. Senandung itu semakin lama semakin besar dan dekat menyesak ruang kabin. Pikiran Noah berkecamuk, tangannya bergetar hebat berusaha memproses ketakutan. Semenit berikut kepalanya terasa pecah berkeping mendengar lengkingan tangis.
Mata laki-laki itu tak berkedip memandang area boarding room. Di dekatnya, seorang ibu tengah berusaha menenangkan dan membujuk bayinya. Otak Noah masih belum terjaga dari padatnya gumpalan misteri. Perlahan, rasa lega menjalar ke seluruh penjuru tubuh, meredakan ketegangan otot-otot di wajahnya.
Menarik napas dalam-dalam, tangannya meraba sesuatu. Omamori pemberian istrinya masih aman tersimpan di dalam saku. Langit pucat melatarbelakangi gemawan abu-abu pagi itu, namun kabut kebimbangan beransur memudar. Noah duduk tegak dan segera mengeluarkan ponsel.
Perempuan itu mengerutkan dahinya.
“Kenapa? Kamu kelihatan bingung.” Nada lembut itu membuat hati Melati kian tak menentu. “Dari Noah. Dia enggak jadi berangkat.”
Tanpa sadar perempuan itu melipat kedua bibirnya perlahan, menghela napas pendek berulang kali. Laki-laki di dekatnya tersenyum. Dengan tenang tangannya mengembalikan sehelai rambut yang menutupi wajah cantik itu ke belakang telinga. Perlahan, dikecupnya bibir Melati dengan mesra.
*****
Catatan:
Ohayo, Noah-chan: Selamat pagi, Noah.
Noah, Melati to hanashita?: Noah, sudah bicara dengan Melati?
Gomen, ne: Maaf, ya.
Bionarasi:
May Wagiman, penulis cerpen, cerita anak, serta artikel. Karya tulisannya dapat dilihat di media daring serta media cetak. Dapat dihubungi via surel: maywagiman@gmail.com.