Oleh Angin Kamajaya
Kamis, 26 Juni 2025, di Adakopi Original
RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI lahir Di desa Selareja, kaki Gunung Muria, Pati, 22 Januari 1948, dan dikenal luas sebagai sastrawan yang gigih serta dokumentator sastra yang tekun dan berdedikasi. Di mata para kawan sejawatnya, Ragil adalah sosok yang menjaga jejak sejarah sastra; namanya harum sebagai pendongeng budaya Yogyakarta, meski akhir hayatnya tenggelam secara misterius di Pantai Parangtritis pada 15 Oktober 1990. Kehidupan Ragil bak melintasi batas antara realitas dan mistik: kelahirannya diawalidalam pusaran perang kemerdekaan, dan kepergiannya terekam sebagai kisah mistis dalam puisi-puisinya.
Ragil merupakan anak bungsu dari enam bersaudara. Nama aslinya Warna – sebuah nama Jawa sederhana yang dipilih sang ayah dan ditulis dalam aksara Jawa saat masa gerilya. Seiring tumbuh dewasa, guru-guru Ragil menambahkan gelar kehormatan: “Su” oleh kepala sekolah dasar, “Ragil” oleh guru SMP, dan akhirnya ia menyematkan Pragolapati sendiri – berakar dari nama kampung halamannya. Proses “pemberian nama” ini mencerminkan identitasnya yang berakar kuat pada tradisi Jawa dan kehidupan kolektif di lingkungannya.
Ragil berprestasi sejak sekolah; setelah lulus SMA tertinggi di Pati, ia menerima beasiswa prestasi ke Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Ia sempat menempuh studi di Fakultas Ekonomi (1967–1971) dan melanjutkan ke Fakultas Sastra. Namun, semangat sosialnya mengalahkan kehormatan kampus: dalam pergolakan mahasiswa akhir 1960-an, Ragil sering turun ke jalan mengorganisir protes, bahkan membacakan puisi protes dalam aksi-aksi demonstrasi. Aktivitasnya itu berbuah maut bagi kelanjutan kuliahnya – setelah pernah dipenjara singkat, Ragil akhirnya didrop-out dari UGM atas alasan pengganggu ketertiban kampus.
Dedikasi Ragil pada sastra berlanjut di luar bangku kuliah. Pada 5 Maret 1969, bersama Umbu Landu Paranggi, Iman Budhi Santosa, dan beberapa rekan muda Yogyakarta, ia mendirikan Persada Studi Klub (PSK). Klub sastra ini menjadi wadah berkumpulnya para penulis muda, forum membaca puisi, dan diskusi kreatif. Di PSK dan penerbitan mingguan setempat, karya Ragil mulai tersebar: puisinya dimuat di berbagai media massa sastra, seperti Horison, Basis, Kedaulatan Rakyat, Eksponen, Minggu Pagi, Pelopor Yogya, Kawanku, Aktuil, hingga majalah remaja Semangat. Beberapa puisinya terkumpul dalam antologi bersama (misalnya Antologi Alit dan Tiga Bayangan).
Selama kariernya, Ragil produktif menulis berbagai genre – puisi, cerita anak, cerpen, dan esai – hingga puluhan buku karyanya terbit dan menjadi rujukan. Semangat kerjanya juga diakui secara formal; ia sempat mendapat penghargaan atas karyanya dari Menteri Keuangan Radius Prawiro, serta penghargaan seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta melalui Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Ketika PSK mulai meredup di pertengahan 1970-an, Ragil tidak berhenti mencari cara baru membumikan sastra. Sekitar 1985 ia merintis Studiklub Yoga Sastra (SYS), sebuah komunitas unik yang menggabungkan praktik seni dengan elemen spiritual. Melalui SYS, Ragil menyelenggarakan workshop sastra dan merintis antologi-antologi puisi – misalnya peluncuran antologi puisi penyair wanita Yogyakarta – sebagai ruang bagi generasi baru berkarya. Ia menyebut karya-karyanya sebagai bagian dari puitika yoga sastra, yaitu seni merajut puisi dengan disiplin yoga dan kejawèn. Dalam konsep ini, sastra dipandang sebagai laku pertaubatan dan penyatuan ilmu-seni: ia berusaha menghilangkan sekat genre dan formalitas, sehingga kritikus dan penyair bertemu dalam kesadaran kreatif. Melalui pendekatan spiritual dan disiplin ini, Ragil menunjukkan bahwa setiap proses berkaryanya adalah doa dan laku bakti — sebuah dedikasi yang melampaui sekadar menulis di atas kertas.
Semangat mendidik penyair muda juga tercermin dari cara Ragil berinteraksi dengan para penulis junior. Bagi teman-teman dan muridnya, Ragil tak pernah berkoar mengkritik puisi mereka, tetapi selalu hadir sebagai penasihat bijak yang mendorong anak-anak muda menggali jati diri dalam menulis. Banyak yang mengingat betapa ia setia membina penyair dan penulis muda, menyemangati mereka untuk terus berkarya. Jejak-warisan Ragil tak hanya berupa kumpulan sajak; menurut koleksi cerita Tempo, dokumentasi dan catatannya diperkirakan mencapai ribuan item dalam berbagai format. Dari naskah sekolah hingga lembar majalah, ia mencatat sejarah sastra kotanya dengan tekun, memastikan cerita-cerita zaman itu tidak hilang ditelan waktu.
Kepergian Ragil yang tiba-tiba meninggalkan kekosongan mendalam. Namun karyanya tetap hidup: ratusan puisi, esai, cerita anak, dan bahkan sajak berbahasa Jawa terus dikenang kalangan masayarakat sastra Yogya. Bagi generasi yang mengenalnya, Ragil adalah simbol dedikasi tiada henti—penulis yang meyakini setiap kalimat mesti digarap seperti ritual suci. Ia mengajarkan bahwa berkarya adalah proses mendalam; seperti yogawan yang bersujud, ia menulis dengan sepenuh jiwa hingga akhir hayatnya. Jejak Ragil Suwarna Pragolapati tetap abadi dalam lembar-lembar puisi dan pikiran para sahabatnya, mewarisi pelajaran tentang disiplin kreatif dan ketulusan mengabdi pada sastra.
Sebagai perkenalan dengan Ragi sebagai seorang penyair, masi kita simak salah satu puisinya berikut ini,
LAUT KIDUL
Oommm! Sang Yogawan berkelana di pesisir laut kidul
Melintasi pasir dan dusun, karang dan bukit tandus
“Kemiskinan masih bersimaharajalela, di mana-mana
Bagai tiada tertaklukkan manusia,” katanya berduka
Dia tersenyum kepada rakyat yang bekerja amat keras
Menegurkan salam dan percakapan dengan hati terhangat
“Di mana-mana, orang bekerja dengan tabah, amat setia
Tetapi hasilnya, tiada sebanding cucuran keringatnya.”
Tetapi anak-anak muda santai-santai pun tambah banyak
Tetapi gerombolan orang di gardu dan kedai pun melimpah
Tetapi orang keisengan di simpang-jalan pun merajalela
Mereka menanti. Cewek. Kerja. Rezeki. Info. Nomor buntut
“Republik ini inflasi penduduk. Harga manusia kian turun
Duh, Gusti! Negara tidak punya lapangan kerja yang cukup
Potensi manusia berceceran mubadzir sepanjang laut kidul.”
Pada tiap lokawisata meledaklah hura-hura manusia kaya
Kebinalan anak muda. Cinta. Pesta. Sex. Harta. Uang
Orang haus hiburan. Belanja kesenangan mabuk kepuasan
Cowok-cewek lapar-dahaga kasih-sayang dan gila-gilaan
“Di Indonesiaku, cinta-asmara sudah lama jadi obralan
Sexualita berceceran, murah dan mudah di lokasi mewah
Nilai wanita naik-turun, dalam siklus zaman komputer
Sekolah mengkampanyekan emansipasi, karier dan mandiri
Tetapi lokawisata mendidik wanita jadilah sang parasit
Pemuas sesaat. Insah lemah suka dirayu. Mabuk dikibuli
Seminar-diskusi-simposium mengobral omong serba canggih
Tapi tenggelam di laut kidul, dalam gemuruh nafsu mesum
Wanita atas-bawah obral harga, demi asmara dan fasilitas
Duh, Gusti! Negeri ini penuh dilema, panen Simalakama
Fakta buruk disulap opini pembesar jadi pidato kemilau
Hidup gombal dibius khotbah agama dan seminar ilmiah
Laut kidul bicara banyak, parade kontroversia lengkap.”
Sang Yogawan terus berkelana. Melibat. Mencatat setia
Gemuruh dadanya oleh duka, sesal, kecewa penemuannya
Negerinya tidak seindah maqalah dan fiksi ilmiah kata
Di kota orang terus bicara di TVRI, RRI dan media-pers
Di desa nasib buruk tidak berubah, kian modern kian parah
Goa Langse, 1988
Ragil yang dikenal sebagai penyair yang lebih mementingkan isi dari pada bentuk, pada puisi di atas kita bisa mendapatkannya. Puisi di atas, lebih konsentrasi pada penyampaian isi. Sementara, bentuknya nampak di abaikan saja. Seperti dalam lakunya, yang selalu menyebutkan bahwa bentuk puisi sebaiknya tidak terikat, bentuk akan menjadi sesuai dengan naluri isinya. Sehingga, penulis tidak terbatasi pada bentuk fisik puisi.
Dengan nada yang satir, pada puisi di atas, Ragil menyampaikan tema refleksi sosial dengan segala macam permasalahan yang ia tuangkan dalam puisi, meski begitu Ragil juga tidak meninggalkan spirituaisme dalam puisinya, seperti juga dalam puisinya lain.
Ragil memang telah pergi dan tak tahu kapan kembali. Tetapi apa yang ia tinggalkan dan tertinggal tak sengaja, bisa kita jadikan sumber rujukan dan referensi untuk mengembangkan diri. Khususnya, bagi para penulis muda, dan para pegiat literasi, spiritulistas yang diusung atau dijalani oleh Ragil, bisa menjadi rujukan bentuk cara bekerja dan berdedikasi dalam dunia literisai.
Demikian. Sekian. Terimalasih.
CAG!!!
Aku Cinta Padamu.
Cacatan harian #31
jangan berhenti --- masa lalu tetaplah masa lalu – tapi kita selalu punya masa depan yang lebih cemerlang!
Referensi:
Ragil Suwarna Pragolapati | Arah Guru http://arahguru.wordpress.com/tag/ragil-suwarna-pragolapati/Ragil Suwarna Pragolapati
Wikipedia. https://wikipedia.nucleos.com/viewer/wikipedia_en_all/A/Ragil_Suwarna_Pragolapati
PUISI-PUISI RAGIL SUWARNA PRAGOLAPATI | Lain-lain - Jendela Sastra https://www.jendelasastra.com/dapur-sastra/dapur-jendela-sastra/lain-lain/puisi-puisi-ragil-suwarna-pragolapati
Antologi Puisi Kota Terbayang | PDF | Klasik https://id.scribd.com/document/758818928/Antologi-Puisi-Kota-Terbayang
[Ngibul #56] Puitika Yoga Sastra Ragil Suwarna Pragolapati - Kibul.in https://kibul.in/ngibul-56-puitika-yoga-sastra-ragil-suwarna-pragolapati/
Retrospeksi Kreator Sastra Wanita Yogyakarta Halaman 2 - Kompasiana.com https://www.kompasiana.com/achmadeswa/5aaa5698ab12ae313f082bb2/retrospeksi-kesastrawanan-wanita-yogyakarta? page=2&page_images=5