Cerpen: Buku Catatan Arisan

Oleh Istifari Hasan

Bagiku, dapur bukan hanya menjadi tempat memasak dan makan, tapi juga menjadi tempat menghangatkan kenangan tentang ibu, tentang rasa, tentang rindu yang tak pernah berujung.

Bapak selalu bercerita, Ibu adalah seorang kolektor perabotan. Di masa mudanya, Ibu menjadi ketua arisan perlengkapan rumah tangga. Bapak sendiri seorang PNS golongan III, yang di tahun 1980, di desa kami, termasuk kelompok sosial yang mapan.

Kami tinggal di Desa Tenggina yang serba ada. Tak perlu repot berbelanja ke pasar setiap hari. Pekarangan rumah ditanami bayam, kelor, terong, cabai rawit, tomat—cukup untuk kebutuhan masak sehari-hari. Desa Tenggina hanya sekitar lima ratus meter dari laut. Air sumurnya terasa anyir, sedikit asin, tapi semua orang sudah terbiasa.

Barang-barang seperti panci, piring, gelas, rantang, oven, dan lainnya adalah hasil arisan yang Ibu buat bersama kelompoknya. Setiap bulan mereka berkumpul, membayar iuran lima ribu rupiah. Disepakati, setiap tanggal dua puluh akan keluar satu nama yang berhak mendapatkan arisan. Mereka bebas menentukan barang apa saja yang dibutuhkan. Bagi orang desa, cara ini memudahkan. Jarak pasar sangat jauh, harus ditempuh kurang lebih empat puluh lima menit menuju kota.

Kelompok arisan itu beranggotakan beragam kalangan: Salaimah si penjual ikan, Atnatun si kuli, Masniya guru honorer SD, dan kebanyakan lainnya perempuan yang mengurus anak dan rumah—istilah sekarang, ibu rumah tangga.

Kata Bapak, Ibu punya banyak sekali catatan. Sebelum tidur, Ibu selalu menulis. Bukan hanya arisan perabotan, Ibu juga menjalankan arisan emas: gelang, cincin, kalung, dan anting-anting. Anggotanya ibu-ibu Dharma Wanita di kantor Bapak, semacam kredit emas yang dibayar dengan mengangsur setiap bulan. Ibu mendapatkan persenan dari toko emas dan toko perabotan dari setiap pembelian, karena ia adalah pelanggan tetap. Relasi dan teman Ibu pun bertambah luas.

Cerita tentang Ibu selalu membuat mata Bapak berkaca-kaca. Baginya, tak ada yang bisa menggantikan posisi Ibu di hatinya. Bapak sering mengenang masa perjuangan mereka: teman satu sekolah, menikah muda saat Bapak belum bekerja. Ibu berdagang kelapa dari pasar ke pasar, dan Ibu pula yang mendorong Bapak menjadi PNS. Ibu sendiri memilih pekerjaan tidak terikat. "Berdagang jauh lebih cepat kaya daripada menjadi buruh," begitu kata Bapak.

Mereka berdua hidup dari nol, hingga kini ada aku, yang mewarisi tanah, rumah, dan isinya.

Setelah Ibu meninggal, Bapak tak mau menikah lagi. Ia memilih tinggal di salah satu rumahnya. Setiap bulan, saat aku mengunjunginya, ia selalu bercerita tentang Ibu dan aktivitasnya. Sampai suatu waktu, aku merasa bosan dan memutuskan libur dua kali tidak menjenguknya.

Catatan yang ditulis Ibu sungguh rapi. Isinya: nama-nama anggota arisan, berapa kali mereka menunggak, berapa kali ditalangi, nama barang yang setiap bulan dibeli. Pembukuan yang tertata. Ibu sungguh berbakat menjadi akuntan.

Yang sering menunggak adalah Salimah. Yang sering ditalangi juga Salimah. Di kolom keterangan, tertera: Salimah, sepuluh kali tidak pernah membayar lagi setelah mendapatkan arisan.

Aku merasa ada yang aneh. Kenapa nama Salimah juga sering diceritakan Bapak? Aku baru menyadarinya sekarang. Apakah Salimah masih berutang pada Ibu? Di catatan, tidak ada keterangan.

Ibu meninggal saat aku berusia dua puluh lima tahun. Ia tak sempat melihatku menikah, apalagi menimang cucu. Setelah lulus kuliah, aku tidak menjadi buruh kantoran. Aku menjadi penjahit, meneruskan toko emas Ibu. Dari usaha yang dirintis Ibu, aku bisa membeli ruko di Malang, yang kujadikan rumah busana jarik. Aku menjahit busana wanita tempo dulu, aneka kebaya, dan setelan batik. Aku mengembangkan usaha Ibu semasa hidupnya.

Setelah dua bulan berlalu, aku kembali mengunjungi Bapak. Kubawakan makanan kesukaannya dalam rantang peninggalan Ibu—rantang putih bermotif bunga, bersusun empat, berisi nasi, sayur, lauk, dan kue.

Bapak menyambutku dengan wajah yang tidak manis seperti biasanya. Mungkin ia marah karena aku absen dua kali.

Setelah makan, Bapak seperti biasa mulai bercerita. Tentang Ibu yang selalu aktif, selalu sibuk dengan urusan bisnisnya. Kali ini, aku sengaja memotong pembicaraan Bapak.

"Salimah. Siapa dia, Pak? Apa Ibu pernah cerita tentang dia?"

Aku melihat ekspresi Bapak yang tiba-tiba diam, mematung.

Dia mengatakan, "Salimah itu istri kedua Bapak."

Aku terperangah.

"Ibu mendapatkan pengakuan itu sehari sebelum meninggal," lanjut Bapak. "Ibu sudah lama mengetahuinya. Itu juga alasan Salimah dikeluarkan dari kelompok arisan. Uangnya yang menunggak itu, Ibu biarkan saja. Sebagai kesepakatan mereka berdua."

Dan itu juga alasan Bapak tidak menikah lagi.


Biodata Penulis

Istifari Hasan adalah penulis kelahiran Slopeng, Sumenep. Buku Kumpulan cerpen pertamanya yang sudah terbit berjudul Parodia (2022), saat ini ia sedang mempersiapkan buku kumpulan cerpen keduanya, Perempuan Tembakau. Karya-karya Istifari Hasan juga di muat di berbagai media massa, baik cetak maupun online.   

 

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak