Kumpuan Puisi: Ummi Ulfatus Syahriyah

Oleh Ummi Ulfatus Syahriyah


Tembang Tunggal yang Tanggal

I
Di bawah cawan langit,
ditumpahkannya bulan sabit
Pada rerimbun wana
Hingga terbelangah.
Menyejuk tanah-tanah padas
dengan tembang tunggal.

Sepasang matanya menelanjangi kalendar
yang dieja pada tiap warsa
menyergap palung-palung waktu
melipat langkah ke tanah Persi
memburu pasir dan air

Di bawah titah yang dirancak
Pada tapal kuda 
Si Nalendra menguarnya
Pada balairung Prabu Syam.
Menyambut karsa Sang Raden Bagus.

“Di mana Raden Bagus kinasih, wahai Nalendra?”
“Sang Raden menetap atap
di tanah Ngencik.
Menyambung tembang tunggal
pada keyakinan yang tanggal.”
Sang Prabu memilin titah
Pada tapal kuda yang lincah
Di bawah rindu yang tenggelam
Pada mata yang nanap.

disambungnya titah
pada lidah
di antara kerumunan.
Sang Raden menanak rindu pada
Tubuhnya yang sepi
Dipinangnya putri Raja Dukbanus
Di bawah lirikan langit
Yang mengintip.

II
pada usia kalendar yang semakin uzur
langit-langit padepokan semakin redup
sepasang abdi trah Raden misuwur dan kawula alit
menyambung nafas 
yang telah mangkat.

abdi kawula mengikat rapat hak pedukuhan
menutup trah Raden Bagus.
Merunyam tahta yang dianyam

III
sang tunggal yang dipuji tertanggal
memuja kekosongan
legam-legam udara tengah menyeruak
di seluruh sudut
menusuk dan merasuk
jiwa-jiwa 
yang lengang

Wonosari, 29 Juni 2025




Tanah yang Dijunjung

1//
Kuberkunjung pada tanah yang dijunjung
Tertancap bilah keris yang arif
Titah Sri Susuhunan Pakubuwana X
2 Mei 1911
Menyebar arum wangi
Pada hidung para wedana 
Menyeruak, menyingkirkan
anyir sepatu Londo

Kutabur sekar pada tanggal yang mekar
Dengan kidung agung
Pada nisan leluhur dan
mata tanah yang merekah
oleh air-air penuh berkah

kidung berdendang tak kenal lengang
pagi, siang, petang
bersenandung

Kulafalkan tembang pitutur
Pada sela malam yang disusur
“Satemah nunggal sajugo
Guyub rukun kang sinedya”

Kutabuh gendhing beriring 
Tarian gemulai seorang ledhek
Berayun anggun di atas pancur
Yang mengucur dari keringat para pengusung

Ditancapkannya kayon pada kisah yang dipilin
Kusisir makna yang mendesau
Dari balik suara dalang
“Wahyu Makutharama” 
Titah berduyun turun
Pada kalbu nalendra dan ksatria sejati

2//
Baginda kilir mohon izinkan
Aku menadah air sekawan
Baginda kilir mohon izinkan
Penuhi tanah kami keberkatan

Kutadah air
Kuraupkan pada mata tanah
Membasut mata air
Kupancangkan sulbi pepohonan
Berdiri tegak di tengah jantung yang dipasung
Dari pucuknya merecikkan butir yang diseduh
Dalam cawan teduh

Sang Hyang mohon wariskan
Tanah leluhur subur makmur
Hyang Wenang mohon berikan
Hasil panen yang tak terukur 

3//
Kupetik biji kecemasan
Tiap kali melingkari kalendar
Menyuluh tangan-tangan legam
Bergerilya di tengah malam
Mengantongi kerusuhan dari tiap ranting yang nyaring
Bersama kokok ayam

Sang Hyang limpahi hujan
Tangan legam yang sembarangan
Hyang Tunggal mohon bersihkan
Tanah junjungan yang berantakan

4//
Kusangrai benih hati yang karam
Dengan lumat kalam
Kembali kutanam sulbi pepohonan
Mencuratkan butir kemenangan

Kekalih kinasih sempit dan lapang
Kiranya sudi bertandang
Pada perjamuan biji abang
yang t’lah tanah kami hidang

Malang, 02 Agustus 2025



Surat Pohon: Untukmu

Pagi ini ibu melahirkan
Pucuk kata, menyembul
Dari sela tanah retak
Raut ibu riang, meski ia tahu
Kelahiran hanya seujung kuku

Aku menawarkannya segelas hujan
Yang diaduk dengan biji tanah
Ibu meminumnya seteguk demi seteguk
Dihisapnya udara
Yang mengepul
dari helai rambut anak-anaknya

“Ibu akan pulang, sebentar lagi mereka datang!”
Aku hanya menatap tabur tubuhnya
Yang berangsur lenyap
Dari titian pandang

Malang, 30 Juli 2025



Sajak Soto
Untuk Buya Husein Muhammad

Sedang kunikmati hidanganmu
dalam semangkuk pengetahuan
Kutuang kuah beningnya nurani
Tanpa koya yang ditabur
Kuaduk dengan sendok penafsiran

Kubuka mulut-mulut sumbang
Kusuapkan makna 
Agar mengisi sela pikiran
Yang rumpang

Kuiris daging buku
Yang pipih 
Kusatukan dalam piring
Yang nyaring
Bersama suaramu

Lalu kau uapkan syair Ibnu Arabi
yang mendesir dari  ubun-ubun teko
Pada hidung yang sering mengendus
anyir bau tahlil

Kau kucurkan cangkir kedamaian
pada tatakan pelangi
yang terbaring di atas meja perjamuan.

Malang, 10-12 Agustus 2025



Danau Puisi
Kepada D. Zawawi Imron

Kuselami danau puisimu
Hingga dasar kata-kata.
Sesekali kuberenang ke permukaan buku,
Menghirup oksigen penafsiran

Zawawi, Zawawi, Zawawi,
Laiknya sebuah zikir yang berdesir
Di perut air.

Kubayangkan tasbih ikan nun
Yang menggaung 
Pada kalbu Yunus
Menghunus bilah harakat
Pada dosa yang berkarat.

Kembali kuselami danau puisi Zawawi
Kutemukan biji tunggal
Pada cangkang kalimat
Kupungut dan kusimpan rapi
Dalam kantong pemahaman
Kubawa ke daratan,
Tepat di bawah nyiur yang melambai
Kukaji dalam lubuk kamus dan ensiklopedi

Malang, 15 Agustus 2025



Nelayan Kurus

Kujahit benang nasionalis pada mulut-mulut amis
Yang hanya mengunyah ikan-ikan,
Didapatkan dari nelayan desa yang kurus
Kurus badan dan dompetnya
Bahkan sempat mengendus terompah 
Dari jejaknya yang anyir
Nelayan itu melemparkan jala
Berharap menarik perut laut
Yang penuh
Tapi laut-laut hanya mendendangkan
Lagu sendu
Sembari mengigau, kelaparan
Karena lambungnya telah lama tak makan
Perutnya penuh dengan peluh
Peluhnya mengisi penuh perut nelayan,
Di dalamnya bersembunyi dua anak
yang sedang petak umpet
Mencari keadilan.

Malang, 17 Agustus 2025



Masakan Kata
Untuk Mahwi Air Tawar

1//
Alif tubuhku menggeliat
di atas puisi yang mekar
Ia menjalar seperti akar
mengendus serat-serat kata
Berharap berjumpa dengan kebun makna

aku berteduh dari terik rindu
merangkai puing-puing kalbu
yang berserakan di dahan puisi

Di pucuk daun yang paling sepi,
masih saja kubelajar mengeja
sampai tiba di wajahnya yang paling hijau
Puisi, “P-U-I-S-I”
Hampir saja langkahku tersandung titik dan koma
yang bergelantungan pada dahan.
Kupandangi raut HB Jassin
yang masam
mencecap puisiku

2//
Di meja makan, aku hanya memotong kata
Menusuk kalimat dengan garpu
Lalu memasukkannya dalam mulut puisi.
Di pojok ruang,
kau menawarkan segelas air tawar
yang akan menawarkan bau mulutku
dari puisi-puisi yang sudah basi.
Kuminum seteguk demi seteguk 
Karena kau melarangku menenggaknya
Katanya, aku bisa tersedak dengan huruf-huruf
Yang berjajar panjang dalam gelas itu.

3//
Kau memintaku memasak puisi dengan matang
Biarlah kutumis dengan lembar ayat api Sapardi
Kadang hingga tertidur pulas bersama buku latihan Jokpin
Atau berakhir dengan Nyanyian Putus Asa Neruda
“Masih mentah!” 
Goresan garpumu yang menjejak pada wajah piring puisiku.
Hingga akupun harus menaiki bukit dan mengkajinya
Berharap menghirup udara dari hembusan puisi Zawawi




Sang Tumenggung

1//
Entah, air mata itu mengucur dari 
Mata air Madakaripura
Atau rekah tanah yang menganga
Di Pekon Kerbanglanggar
Mengintip wajah langit
Memeluk tanah yang terbelah

Sayup-sayup Amukti Palapa
Melewati arus Kali Tambakberas
Memasuki Trowulan
Mengendus daun pintu keraton
Yang hampir ambruk
Mengelus atap pendopo yang terbakar

Puing-puing berserakan
Menyentuh mulut tanah, pucat pasi
Terkubur bersama mayat-mayat prajurit
Yang rela mati

2//
“Apakah kita lanjutkan perjalanan ini, Tumenggung?”
“Titah Sultan harus dijalankan!”
Di seberang kali, ditatapnya air
penuh ruam
amis udara
Menguar dari kulit pohon 
Yang menyaksikan mata pedang
Menghunus sulbi segar
Darah Majapahit.

Ditanamnya akar pedang
Pada dadanya sebelah kiri
Agar daun-daun amanat
Menjalar dalam seluruh otot tubuh
Laiknya sebuah zikir,

“Bhre Kertabhumi, Ratu Dwarawati,
Junjungan para adipati
Bhre Kertabhumi, Ratu Dwarawati,
kiranya sudi menuntun kami.”

Jantung hutan dilewati
Dengan rerimbun sunyi
Muncul lolongan anjing
Menatap mata konde
tertancap ancap
pada dendam Wanda Sari
“Cundrik!”
Memotong urat pedang
menjalar pada leher seorang abdi

“Tumenggung, kita dikepung
dendam yang belum rampung
Tumenggung, jantung kita dipasung
Dengan ajal yang menggantung!”

3//
Muktiyudha dan Jayengsayekti
Melipat pepohonan
Menggusur angin 
Menodongkan keris dan cundrik
Pada mata kaki Gunung Lawu
Menumpahkan murka dari cawan langit
Yang sengit

4//
Surenggala membawa panji sang Tumenggung yang agung
Ke hadapan Sultan Demak
Tersisa bilah keris dan topeng yang digantung
“Tumenggung mangkat ngarsaning Gusti?”

Malang, 22 Agustus




Di Toko Kelontong yang Kosong

Minyak kosong
Beras kosong
Gula kosong
Tepung tapioka kosong
Garam kosong
Sementara gigi Ibu itu semakin ompong
Menanti omong kosong
Dari hasil diskusi di ruang kosong
Keadilan yang kosong
Yang ada hanya tong kosong
Nyaring bunyinya

Malang, 22 Agustus 2025




Telapak Sejarah yang Merah

1222—
Ia hanya mengenal cangkul dan padi
bergumul dengan sawah yang lengang
atau jiwanya
berlarian sembari menyimpan
barang yang dilipat
dengan kain dusta.

***
Jiwanya mengabdi pada akuwu
Tahta Tumapel dipangku
Ia menyalah laku
Berkunjung pada seorang Mpu
Beringas bagai asu 

Lalu berdiri dari sulbi Tunggul Ametung
Kebo Ijo dipasung dengan fakta buntung
Merebut kuasa yang menganga
Di antara bilah keris Mpu Gandring

***
Kertajaya mencabut akar brahmana
Dan menebas batang hak-haknya
Brahmana Kadiri meniti lampah
Menenteng harapan yang dipilin
Atas paduka yang berulah.

“Ken Arok, sang Amurwabhumi 
Kiranya sudi bertandang
Mengayun dan menebas pedang
Pada batang leher Kadiri.”

***
Di bawah alis yang kalis
Ken Arok merancak prajurit
Menapak tanah Genter
Mengepak panji pada sayap
Di tengah sayup ngungun suara angin
Yang berseliweran dari pasukan Kadiri.

“Panji berkibar membesar cakar
Meraup tanah kuasa yang mekar
Panji dijunjung tinggi membumbung
Memeluk cakrawala yang mendung.”

1292—
Tujuhpuluh kalendar menuju
padmasana Jayakatwang
yang masih terbayang 
dalam angan yang tertawan
dari bisik Arya Wiraraja
dipinangkan jejakanya, Ardharaja
dengan Putri Kertanegara.

***
Pamalayu tak digugu
Menjerat paduka dengan luka
Bak air tuba
Mengucur dari harapannya yang mujur
Dikibarkannya kembali Panji Kadiri
Yang tertimbun

***

Rampak kuda Mongol bercokol
Pada sisa tubuh Kertanegara.
Panji itu tertimbun kembali
Di bawah langit 
Yang menumpahkan muram wajahnya
Pada papan catur.
Melihat gesit licik sang Raja
Mengangkangi kotak-kotak lawan
Sekaligus kawan.

“Jayakatwang, Jayakatwang
Malang bukan kepalang
Maju mundur tertebas pedang
Lawan-kawan nyalang menentang.”

1293—
Buah-buah maja ranum tercium
Pada jantung hutan Tarik.
Dipetiknya dan diulum
“Majapahit!”
Didirikannya keraton 
Dititahnya Ranggalawe
Sebagai adipati Tuban

”Raden Wijaya yang mulia
Kiranya sudi mendengar hamba
Ranggalawe yang hina
Tahta Mahapati di tangan Sora.”

Kidung Ranggalawe berakhir murung
terpasung dalam jerat makar
Yang ditanam oleh Nambi
Dalam akar kalbu Prabu Majapahit.

”Sadumuk bathuk, sanyari bumi.
Sun tan arsa makar pakuasan
Sadumun bathuk, sanyari bumi.
Hananging numpes tumbak cucukan.”

Pada genangan murka
Kebo Anabrang menyelam
Menusuk Ranggalawe.
Mata Sora nyalang
Menatap mata air yang menyala
Tergenang tubuh suci yang pasi
“Kubalaskan Ranggalawe!”

Malang, 23 Agustus 2025




Catatan Kaki

  1. Susuhunan Kasunanan Surakarta yang memerintah pada tahun 1893-1939
  2. Sesepuh Desa Sumberdem, Mbah Soemoredjo mendapatkan bilah keris dari Sri Susuhunan Pakubuwana X yang tertanggal di dalamnya 2 Mei 1911, di dalam ukiran keris itu terdapat ukiran daun kopi.
  3. Seorang pejabat pemerintah pada masa Hindia Belanda yang memerintah sebuah kawedanan, sebuah wilayah administrasi yang berada di bawah kabupaten.
  4. Belanda  
  5. Cuplikan tembang giriso yang berisi nasehat agar hidup rukun 
  6. Gunungan wayang yang berfungsi sebagai tanda pembuka dan penutup cerita dalam Wayang
  7.  Sebutan Nabi Khidir bagi orang Jawa, sebagai penunggu air.
  8.  Bahasa jawa krama inggil untuk angka empat (4). Di desa Sumberdem terdapat empat sumber mata air yang tak pernah kering sepanjang musim.
  9.  Sebutan untuk Tuhan semesta alam, adapula nama lain seperti Sang Hyang Tunggal
  10. Dua kekasih, menggambarkan kepercayaan roh nenek moyang dan Tuhan semesta alam. Dua kepercayaan yang ada di Desa Sumberdem. Dimana kepercayaan pada mistisisme masih kental.
  11.  Bahasa jawa dari kata “merah” biji abang/biji merah yang dimaksud adalah biji kopi yang telah dipetik ketika memasuki masa warna kulit bijinya berwarna merah dan siap panen. 
  12. Ada beberapa kemungkinan jasad Patih Gajahmada dimakamkan, di air Terjun Madakaripura atau Pekon Kerbanglanggar
  13.  Sumpah Patih Gajahmada untuk menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Majapahit
  14.  Gelar kebangsawanan untuk kepala suatu distrik/wilayah
  15.  Nama dari Prabu Brawijaya V, seorang raja Kerajaan Majapahit
  16.  Putri Champa, seorang Muslimah dari Champa sekaligus permaisuri Prabu Brawijaya V. Merupakan ibunda dari Sultan Demak.
  17.  Selir Prabu Brawijaya V
  18.  Keris kecil dan pendek, yang sering disebut sebagai senjata tradisional wanita.
  19.  Seorang Tumenggung Kasultanan Demak yang mendapatkan amanat untuk membawa pulang Raja Brawijaya V dan Ratu Dwarawati di tengah kekacauan Majapahit
  20.  Disinyalir merupakan Putri Wanda Sari/Dayang Kuning, selir Prabu Brawijaya yang melahirkan seorang anak Bernama Bondan Kejawan.
  21. Lurah Prajurit dari Manggalayudha Tumenggung Muktiyudha
  22.  Seorang Akuwu Tumapel yang meninggal karena ditusuk dengan keris buatan Mpu Gandring yang dimiliki oleh Ken Arok. Namun ia memfitnah Kebo Ijo yang membunuhnya.
  23.  Raja terakhir Kerajaan Kadiri. Turun tahta karena rakyat dari kaum Brahmana tidak setuju dengan kebijakannya. Kemudian mereka meminta bantuan Ken Arok menumpasnya.
  24.  Raja pertama sekaligus pendiri Kerajaan Singasari.
  25.  Keturunan Raja Kertajaya yang menjadi bagian dari Kerajaan Singasari (menjadi besan dari Raja Kertajaya, putra Jayakatwang menikah dengan putri Kertanegara) dan akhirnya melakukan pemberontakan karena hendak mengembalikan kekuasaan Kadiri.
  26.  Raja terakhir Kerajaan Singasari yang meninggal saat pemberontakan Jayakatwang.
  27.  Pendiri sekaligus Raja pertama Kerajaan Majapahit, merupakan menantu Raja Kertanegara (Raja terakhir Kerajaan Singasari) mengatur siasat cerdik untuk membalaskan dendamnya pada Jayakatwang, dengan menggandeng pasukan Mongol, sekaligus menusuk mereka dari belakang untuk akhirnya mendirikan kerajaan baru.
  28.  Ranggalawe difitnah hendak melakukan pemberontakan pada Kerajaan Majapahit, usai ia memohon pada Raden Wijaya untuk menggantikan tahta Mahapatih pada Lembu Sora.


Biodata

Ummi Ulfatus Syahriyah, buku puisinya yang sudah terbit "Yang Terperam dan Tersekat" (2019) dan "Tuan Arloji" (2023). Beberapa tulisan puisinya juga termuat dalam beberapa laman web. Saat ini tinggal di Malang dan bergiat di komunitas Lingkar Sastra Avicenna.

Alamat lengkap : Rt 1 Rw 2 Dusun Sumberingin Desa Sumberdem Kecamatan, Wonosari Kabupaten Malang.



Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak