Surat Kepada Chairil

Oleh Mahwi Air Tawar

Chairil, surat ini saya tulis bukan karena saya rindu membaca Gerakanmu bersama Asrul Sani, dan sejumlah seniman muda kala itu hingga melahirkan Surat Kepercayaan Gelanggang, sebuah surat manifesto kebudayaan dan pernyataan sikap atas kebudayaan, politik dan seni. Surat ini tidak juga tentang Senja di Pelabuhan Kecil, setelah laut kami dipagari bambu. 

Ya, Chairil, Ini kali tidak ada yang mencari cinta // di antara gudang, rumah tua, pada cerita // tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut. 

Di masa pembangunan ini (entah pembangunan siapa), kami tak bisa lagi berpaling dari kondisi negeri yang dulu kau tinggalkan, Indonesia. Hari ini kami tak bisa lagi maju menerjang dan menyerbu bersama barisan tak bergenderang berpalu, sebagaimana kau gambarkan dalam puisi Diponegoro. Tapi kini, Chairil, tidak demikian adanya, kini genderangnya sudah diganti jingle iklan, dan palunya... ya, palu tender proyek.

Maafkan saya, Chairil, dalam menulis surat ini tanpa undangan resmi atau kop surat. Tapi, 

setelah sekian lama membaca dan mengagumi puisimu, rasanya kurang sopan kalau hanya mengintip dari balik halaman buku tanpa pernah menyapamu langsung. Anggaplah ini obrolan malam dari generasi yang hidup dalam dunia digital, tapi tetap haus akan kata-kata yang blak-blakan seperti milikmu.

Chairil, kau memang binatang jalang. Tapi jalangmu bukan sembarang jalang. Kau jalang terpelajar—berjalan di lorong-lorong malam, bukan sambil memegang android lalu sibuk sendiri-sendiri, tapi menggenggam sajak, membacakan dan mendisikusikannya. 

Orang bilang kau pemberontak. Saya bilang: kau penyelamat. Di zaman seragam dan penuh  aturan, puisimu seperti sepatu robek yang menolak diam—tetap keras kepala melangkah.

Katanya, umurmu pendek. Tapi hei, amukan puisimu panjang. Dan tahu tidak? Karyamu masih hidup—lebih hidup dari influencer yang followers-nya jutaan tapi pikirannya cetek. Kau tak sempat punya Instagram, Chairil, tapi puisimu lebih sering di-repost dari foto-foto makanan. 

Katanya, kau itu kaum urakan. Gelandangan! Begitu cap yang dilempar oleh orang-orang yang merasa paling bermoral dan paling suci. Penampilanmu terlalu bebas. Sikapmu terlalu keras. Puisi-puisi dibilang cuma ocehan pengangguran dari imajinasi liar. 

Tapi, Chairil? Lihat sekarang—banyak yang tampil necis, pakai jas kebesaran dan sepatu selicin pomade, ngomongin moral, tapi lupa—otaknya gak pernah cuti dari merugikan rakyat dan negara. Diam seribu pohon waktu hutan dibabat habis.

Tapi yang paling membuat saya tercekat, adalah kabar itu: kabar yang ingin dirahasiakan tapi temanmu yang tahu diam-diam menyebarkan. Katanya, kau kerap masuk ke kompleks pelacuran. Bukan untuk bersetubuh. Tapi untuk memberi. Honorarium puisimu, yang entah cukup untuk beli nasi bungkus atau tidak, kau serahkan kepada para perempuan yang dunia sebut hina.

“Karena mereka nelangsa,” katamu. “Karena tak ada yang melindungi mereka, jadi biar aku jadi bapak sekaligus tameng mereka.”

Ya, Chairil, honor puisimu kau berikan kepada mereka yang lebih membutuhkan, tapi disaat bersamaan kau datang diam-diam ke rumah H.B. Jassin, kemudian dengan tanpa permisi, kau bilang kepada istri sang Paus sastra itu, “Aku lapar. Ada makanan apa di dapur?”

Chairil, penyair sekarang kalau masuk kompleks seperti itu, niatnya ngonten. Kau masuk dengan belas kasih. Yang lain sibuk cari pengakuan, kau sibuk menebar keberpihakan.

Kadang saya bingung: kau ini penyair, atau pahlawan bertubuh ringkih? Kau maki-maki dunia dalam puisi, tapi diam-diam menyeka luka orang lain. Kau hajar moral palsu, tapi menyayangi mereka yang terinjak. Mungkin karena umurmu pendek, kau tak sempat berkompromi. Tak sempat jadi tua dan sinis. Kau meledak sebelum mapan. Pergi sebelum dijinakkan.

Sekarang zaman sudah berubah, Chairi, Banyak yang menulis puisi, tapi sedikit yang menggigit. Banyak yang merangkai kata, tapi hanya untuk digunakan sebagai pelampiasan. Puisi tidak tumbuh sebagai ruang kesadaran, puisi tidak tumbuh sebagai media untuk berkontemplasi apalagi menyuarakan kebenaran. Tidak sedikit, puisi ditulis hanya untuk kebutuhan eksistensi. 

Dulu kau menulis: “Yang bukan penyair, tak boleh ambil bagian.”. Sekarang, semua ingin ambil bagian—meski belum tentu tahu apa yang sedang mereka bagi.

Tahukah kau, Chairil? Kutipanmu itu kini dijadikan meme. Kau dijadikan ikon. Tapi seringkali, yang menyebut namamu paling keras adalah mereka yang tak pernah paham betapa sunyinya hidup menulis dengan jujur. Mereka pikir jadi penyair itu soal diksi dan publikasi. Padahal kau—kau menggadaikan napas demi bait. Lapar demi larik. Tak tidur demi satu frasa yang pas.

Kini, saat puisi dijadikan lomba dan alat penggalangan dana, aku rindu caramu menulis: seperti menyalak, seperti jatuh cinta, seperti hendak mati.

Kau tak sempurna. Tapi justru karena itu, kau jadi sangat—terlalu—hidup. Dan itulah mengapa, Chairil, aku ingin kau tahu: masih ada yang merindukan kata-katamu. Bukan hanya puisimu. Tapi juga keberanianmu. Keteguhanmu untuk berdiri sendiri, bahkan di jalan yang sepi. 

Chairil, malam ini, kami generasi muda berkumpul di sini tidak hanya untuk membaca 

puisimu, tapi lewat Hari Puisi Nasional ini, izinkan kami mengingat kembali; spirit dan tekadmu penuh dalam menulis puisi, mengenang betapa kerasnya kamu berdebat dengan HB. Jassin, hanya karena satu kata, satu frase. 

Malam ini, Chairil, izinkan kami mengambil satu bagian dari perjalanan hidupmu, berpihak 

pada yang lemah, keras kepada diri sendiri, tapi sekaligus selalu merekahkan senyum kepada orang lain. Izinkan kami mencontoh satu bagian kecil dari caramu berproses, menulis puisi: menempa diri—baik sebagai manusia maupun sebagai penyair. 


Depok Terluar, 28  April 2025

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak